EMPAT tahun yang lalu, bel rumah orangtuaku berbunyi tepat pukul tujuh malam.
Ding, dong!
Yang membantu membukakan pintu waktu itu adalah satpam di rumahku, Mas Udin.
Aku mengawasi dari atas balkon, bersembunyi agar tak mencolok.
"Malam, Mas," Mas Udin menyapa. Tristan memendarkan pandangan sekilas ke teras rumahku, "Mas nya siapa dan cari siapa?" Aku sudah memberitahu Mas Udin kalau akan ada pria yang datang nanti malam bernama Tristan, tapi aku menyuruh Mas Udin supaya tak terang-terangan mengatakan pada Tristan bahwa kedatangannya sangat dinanti-nanti oleh seisi rumah.
"Saya Tristan," Dia bertanya, "Ini benar rumahnya Pak Handoko?"
Mas Udin mengangguk, "Ya, betul, Mas."
Tristan meminta kalem, "Boleh saya bertemu Ibu dan Bapak? Sebelumnya saya sudah janjian untuk bertemu."
"Oh, iya, iya, silahkan ke sini, Mas Tristan," Mas Udin kemudian memandu Tristan Pria itu mengamati sekitar sembari berjalan menyusuri taman depan rumah. Tepat saat Tristan mendongak melirik balkon, aku pun buru-buru merunduk bersembunyi di antara pot tumbuhan.
Waktu itu aku sangat yakin. Tristan pasti tahu aku tengah mengintipnya. Karena kulihat dia agak menekuk bibirnya sambil masih memandangi balkon.
"Karina ada di rumah juga , Pak?" tanya Tristan iseng. Dia tahu pasti aku di rumah!
"Mbak Karina baru saja datang, Mas," Aku tertegun saat mendengar Mas Udin menjawab.sangat jujur.
"Oh," Tristan menyambung, "Habis dari mana?"
"Habis dari salon dan klinik perawatan, Mas," Detik itu rasanya aku malu sekali. Usahaku untuk membuat Tristan terkesima tanpa terlihat terlalu berusaha langsung amblas gara-gara jawaban Mas Udin. Ingin kubakar hidup-hidup saja satpam rumahku itu!
Kulihat Tristan mengangkat ujung bibirnya. Dia tersenyum sangat tipis.
Aku memutuskan turun ke bawah, menemui Tristan yang hampir memasuki rumah.
Ibu-Ayah masih di dalam kamar. Jadi tepat saat aku turun ke lantai satu, akulah orang pertama yang Tristan lihat begitu memasuki rumah.
"Hai," Aku menyapa selagi turun dari tangga.
Dia memandangiku, "Hai, Karina."
"Ibu-Ayah saya masih siap-siap," terangku, sudah menginjak lantai yang sama dengannya, "Kamu duduk dulu saja."
Tristan mengangguk. Wajahnya mulai tegang. Aku tersenyum menatapnya.
"Kenapa?" tanya Tristan, bingung melihat arti di balik senyumanku.
Aku menggeleng, "Kamu nggak perlu khawatir, Tristan. Ayah saya bukan penjagal."
Air muka Tristan melunak. Menanggapi guraunku, dia bertanya, "Oh ya?"
"Tapi Ibu saya biasanya suka bawa pisau ke mana-mana," Aku tertawa menakutinya.
Tristan mengangguk, menarik sebelah sudut bibirnya. Dia baru saja akan mengatakan sesuatu, ketika Ibuku tiba-tiba mendatangi kami yang masih berdiri di depan pintu masuk.
"Eh, Tristan? Rupanya sudah datang," Ibu menyapa. "Sini, duduk di sini, yuk."
Aku ikut mengarahkan, membantu Tristan menuju sofa ruang tamu.
"Sudah lama nunggu?" tanya Ibu yang duduk lebih dulu. Mbok Inem melintas, meletakkan cangkir teh di meja sebelum kembali ke dapur.
Tristan menyusul. Dia duduk di kursi sofa untuk dua. "Belum, Bu. Saya baru saja sampai."
KAMU SEDANG MEMBACA
EXIT PLAN
ChickLitThe Next Level of Match-Making and Wedding Life. "Tristan? Tampan dan posesif padaku? Ya, itu semua pasti terjadi. DALAM MIMPI!"