Plan 48 : DIAM-DIAM MENGHANYUTKAN

10.8K 1.1K 50
                                    


"MBOK Sar, Bapak belum pulang kan?" Aku berdesis agak keras dari lantai dua.

Mbok Sarmini mendongak di bawah tangga. Dia ikut-ikutan berbisik, "Belum, Bu."

Kalau Tristan hari ini juga belum pulang maka baguslah! Karina, YOU SAFE!

Dengan lega aku pun menuruni tangga. Mbok Sarmini daritadi memperhatikanku. Wajahnya nampak menyimpan banyak tanya. "Kenapa, Mbok?" tanyaku bingung.

"Bu Karina sejak pulang dari Bali tiga hari lalu terusss saja nanya ke saya apa Bapak sudah pulang sebelum turun atau keluar dari kamar," Mbok Sarmini menyampirkan lap kotak-kotaknya ke bahu. "Ibu lagi bertengkar sama Bapak ya?" tudingnya.

Aku menggeleng, "Kita nggak bertengkar, kok, Mbok. Kita cuma lagi main petak umpet," kelakarku, "Pokoknya kalau Bapak sudah pulang dari perjalanan bisnisnya segera kabarin saya ya, Mbok. Saya mau ngumpet!"

Mbok Sarmini terkekeh, "Walah, benar, toh, lagi bertengkar."

Kubiarkan dia berspekulasi sendiri. Aku melesat ke kulkas, mengambil buah. Setelah pulang dari Bali berat badanku naik. Masalahnya, minggu depan akan ada pojok kreatif di sekolah Troy. Dan setelah Troy menyanyi nanti tiap anak akan memberikan lencana pada orangtua mereka.

Itu berarti aku akan naik ke atas panggung. Aku tentu ingin tampil cantik. Apalagi semua orangtua murid bakal hadir. Menurut Bu Yuni, wali kelas Troy, ada banyak orangtua duda di playground tempat putraku bersekolah.

Siapa tahu kan aku bisa menggaet duda muda tampan kaya raya! Hohoho!

Apa? Tristan? Oh, bukan, bukan! Aku akan bercerai dengannya. Bercerai! Itu memang bukan kata yang seharusnya mudah diucapkan. Tapi tolong jangan mengira aku sedang bahagia saat ini. Skill yang paling kukuasai dalam hidupku adalah berpura-pura ceria. Jadi mengatakan kata 'cerai' sambil tersenyum bukan masalah bagiku.

Aku duduk di sofa. Kebetulan saat menghidupkan TV sedang tayang film dengan adegan Ibu yang sedang melahirkan. Ayah di dalam film itu mengingatkanku pada Tristan. Tahu kan bagaimana Ibu mengejan saat melahirkan? Lantas si Bapak ling-lung harus bagaimana? Iya, wajah Tristan persis sebego itu kala dulu aku bersalin. Kalau dipikir-pikir, itu wajah terbodoh Tristan yang pernah kulihat.

Sedetik kemudian aku teringat bagaimana Tristan selalu berada di sampingku hari itu. Selama berkontraksi di rumah sakit empat belas jam lebih. Dia duduk di kursinya, berdiri, duduk, berdiri lagi.... Saat dokter memperbolehkan kami jalan-jalan di sekitar rumah sakit pun, dia bahkan mendorong kursi rodaku dan menemaniku tanpa menyentuh HP-nya sedetikpun. Apalagi ketika diinduksi dan pembukaan 9 menuju ke 10, perutku sangat mules sampai aku menjerit-jerit dan rasanya ingin nangis darah. Tahu apa yang Tristan korbankan?

Dia mengorbankan tangannya padaku. Meskipun aku keruk-keruk, pukul-pukul, dan aku jadikan tangannya samsak pelampiasan rasa sakit yang kurasakan dari leher rahimku, tapi Tristan tidak pernah sekalipun menarik tangannya. Padahal, sumpah, rasanya aku sudah mengeluarkan tenaga yang Popeye keluarkan buat menjotos Brutus. Lebih keras malah. Kok, bisa-bisanya Tristan kuat ya?

"Bu, bu, bu...." Mbok Sarmini berjalan gawat menghampiriku. Dia membekap HP di tangannya seolah HP itu punya mulut. "Pak Tristan telpon saya," bisiknya. "Ibu disuruh angkat telepon dari Pak Tristan."

Aku memutar bola mata. "Bilangin saya lagi sibuk." HUH! Angkat telepon? Kamu, tuh, yang seharusnya angkat kesadaran kamu! Kamu sudah telepon aku belasan kali, Tris! Ganggu banget, deh! Tapi kalau cuma angkat telepon itu, sih, gampang!

Sadari dulu perbuatan kamu, baru telepon aku! Berani-beraninya!

Mbok Sarmini kemudian menyalurkan pesanku pada si suami-bego-ku di seberang panggilan. "Bu, kata Bapak, kalau sibuk dan nggak bisa angkat telepon, balas WA-nya saja."

EXIT PLANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang