AKU menempelkan punggung ke dinding koridor di depan pintu kamar. Kuturunkan heelsku ke lantai. Kutatap kedua telapak tanganku. Keduanya bergetar hebat. Begitupula kaki-kakiku. Tubuhku sangat lunglai. Ada banyak alasan bagiku untuk menangis. Tapi aku tidak mengijinkan mataku basah. Dari awal, jauh dalam lubuh hatiku, aku tahu akan begini. Kucari-cari alasan untuk tidak menangis. Namun tiba-tiba kulihat kedua tanganku mengabur. Pandanganku mulai samar.
Tidak boleh! Air mata tidak akan tumpah di sini!
Aku mendongakkan kepala ke atas, berusaha menahan genangan yang mungkin ada di sudut mata. Ck! Sial, sial sial! Riasanku ini kan mahal! Aku sudah menghabiskan banyak uang untuk tampil cantik hari ini! Mana boleh rusak hanya gara-gara Tristan!
Cowok brengsek! Cowok menyebalkan! Cowok jahat! Aku kutuk Tristan!!!
Pintu di depanku terbuka. Giana keluar pertama. Wanita itu tersenyum cerah ketika melihatku yang justru sedang murung.
Gila wanita ini! Dia masih bisa tersenyum? TERSENYUM?!
Sumpah ya! Aku ingin menamparnya bolak-balik seratus kali kalau bisa! Tapi aku sudah tidak punya tenaga. Dan cara itu sangat tidak classy untuk wanita sekelasku. Maaf saja, menamparmu tidak akan senikmat menampar Tristan. Tenagaku limited! Akan kuforsir semuanya untuk membantai suami yang sebentar lagi on the way jadi mantan suamiku itu!
"Kar?" Gia mengernyit, "Ngapain nuggu—"
"Boleh nggak lo pergi saja?" tanyaku kasar.
Gia mengerjap kaget, seolah-olah tidak menyangka kemarahanku. Dasar sok polos! Nggak perlu belagu lihat gue marah setelah apa yang kalian ketahuan ngelakuiiin itu, bego!
"Oke," Giana mengangguk. "Kalau gitu gue balik duluan. Gue pinjam powerbank kalian ya. Anyway Tristan masih di dalam."
Cewek itu kemudian pergi, sesekali dia menoleh ke belakang, melihatku dengan wajah penasaran. Mungkin dia bertanya-tanya apakah Tristan masih akan hidup besok apa tidak.
Setelah kepergian Gia, pintu di depanku lagi-lagi terbuka. Target bantaianku sudah muncul. Tidak seperti Giana, Tristan dengan kalem menutup pintu dan berbalik melihatku.
"Kamu itu senang banget ya, Tris, ngebuat aku menderita? Iya?!" Aku menegakkan badan dari sandaran dinding. Aku lahap Tristan dengan mataku yang berapi-api.
Tristan mengernyit, "Kenapa kamu tiba-tiba nanya gitu, Karina?"
"Kamu sudah keterlaluan!" Aku berseru. Untungnya tidak ada orang di koridor kamar hotel lantai ini. Dan meski didengar oleh para tamu di dalam kamarnya, aku tidak peduli! "Selama empat tahun ini aku sudah menoleransi semua perilaku kamu ke aku, Tristan! Tapi aku nggak bisa toleransi yang satu ini!" Kutunjuk dia, "Kamu. Sudah. Ke-ter-la-lu-an!"
Tristan agak kaget melihat emosiku yang menggebu-gebu.
"Karina," Dia menaikkan sedikit nadanya, "Ada apa sama kamu?"
Lihat?! Ini khas Tristan sekali! KHAS SEKALI! Dia selalu menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lain! Dia selalu berbelit-belit menjawab semua pertanyaanku! Ini alasanku sangat malas bertanya padanya! Ini alasanku MEMBENCI Tristan!
"Ada apa sama aku?! ADA APA?!" Aku tertawa pahit. "Aku itu istri kamu yang selama ini kamu sebut BIDAK! Aku istri yang kamu jadiin BENTENG supaya kamu bisa nerusin AMBISI dan KERJAAN kamu! Aku istri yang selama nyaris empat tahun ini kamu perlakukan kayak TAWANAN rumah! Aku istri yang kamu nggak PEDULIIN! Aku istri yang PERASAANYA kamu anggap remeh! Aku juga istri yang kamu SELINGKUHIN! Dan kamu nanya ADA APA sama aku?!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
EXIT PLAN
ChickLitThe Next Level of Match-Making and Wedding Life. "Tristan? Tampan dan posesif padaku? Ya, itu semua pasti terjadi. DALAM MIMPI!"