Plan 43 : BERANI-BERANINYA!

9.2K 1.1K 131
                                    


Pesan dari penulis : 

Jangan lupa follow  @HaihaiMila ya! 

Aku mau ngabarin juga, nih, kalau Exit Plan bakal habis di plan 52 + epilog

Lalu nanti setelahnya bakal ada..... Eh, nanti aja, deh, aku beberin kalau sudah di epilog.

Happy reading! 


* * * 


"JANGAN ngintip!" Aku memperingati Tristan yang kusuruh duduk menghadap jendela. Daripada menontoniku mengganti baju, kuminta saja dia menatap panorama gedung pencakar langit di luar sana. Habisnya, Tristan tidak mau keluar kamar, tidak juga mau kusuruh masuk ke kamar mandi. Kamar mandi hotel memang luas, tapi gaun yang kugunakan panjang sampai menyentuh lantai. Gara-gara Tristan mandi lantai kamar mandi kan jadi basah! Padahal sudah kusuruh agar tidak membecekkan lantai.

Dasar suami brengsek! Sudah banyak dosa, resek, bandel lagi!

"Mumpung kamu lagi nganggur, Tris, bantuin aku milih antara dua heels di kotak di meja kamu itu, dong," ujarku. Tristan menurut. Kulihat dia membuka dua kotak sepatuku.

Aku terlambat berdandan karena habis menggantikan Troy baju dan mempersiapkannya tampil cakap di resepsi. Tapi Ibuku tiba-tiba ke kamar hotel kami dan mencuri Troy dariku. Katanya dia dan Mama Tristan ingin memamerkan cucu mereka ke tamu undangan yang sudah mulai berdatangan. Belakangan ini Ibu sudah terlalu sering memonopoli putraku. Aku khawatir Troy akan kebingungan mengenaliku nanti kalau aku berpisah darinya di resepsi. Tapi kalau soal kemanan aku yakin Ibuku bisa dipercaya.

"Karina," Tristan memanggil saat aku melesakkan lenganku ke bagian tile. Dengan kepala yang terus menghadap ke jendela, dia meletakkan heels pilihannya di meja, menurunkan yang tidak terpilih ke bawah lantai.

"Apa?" tanyaku ketus. Aku menatap siluet Tristan dan pundaknya yang membelakangiku, mengawasinya agar tidak menoleh.

Tristan terdiam sejenak. Dia terdengar ragu saat menanyakan, "Apa kamu benar-benar mengabaikan aku selama kita nikah?"

Tanganku sempat berhenti memakai gaun, termangu mendengar pertanyaannya.

"Ya," aku jawab pelan. Ini sungguh bukan saat yang tepat untuk membahas itu. Padahal aku sudah bertekad menunda semua permasalahan itu nanti. "Jadi semisal kamu punya cewek lain yang kamu suka silahkan saja. Aku nggak keberatan."

Namun aku sudah mengingkari tekadku.

Dan kenyataannya, aku baru saja menyakiti diri sendiri. Mengucapkan kalimat tadi itu saja sudah sangat sakit. Rasanya seperti ada obeng melayang yang terlempar tepat mengenai dadaku.

Sejak tadi pagi, ketika aku yakin dia pasti menciumku, hipotesaku mengenai Tristan makin menjadi-jadi. Menurutku, hati Tristan saat ini mungkin terbelah dua. Gia menawarkan kedekatan emosi yang tidak kumiliki dengan Tristan. Lagipula mereka sudah berteman sejak kecil. Aku benci mengakuinya. Tapi kenyamanan itu pasti bisa Tristan dapatkan dari Gia.

Namun denganku? Denganku Tristan hanya merasakan physical interest yang sudah umum dirasakan pria. Kami sudah terlanjur memiliki putra bersama. Rasa bertanggungjawab yang Tristan miliki sangat kuat hingga akhirnya menikahiku. Dia bahkan rela meninggalkan Gia untukku.

Tristan sendiri pasti juga sedang menderita. Aku menyebut dia laknat, jahat, dan keparat. Tapi baru kusadari sekarang kalau dia mungkin lebih terpuruk dariku. Tapinya lagi, di samping kepahitannya harus terlibat pernikahan denganku, Tristan memang pria yang kejam. Dia memperalatku! Hanya menganggap bidak dan benteng! Tidak menghargai perasaanku!

EXIT PLANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang