Tiap hari bakal ada 2x update. Tapi hari ini 3x biar seru. Happy reading!
****
"APA kegiatanmu sehari-hari, Karina?" Aku terkesan dengan pertanyaan Tristan yang sangat sopan. Orang cenderung langsung menanyakan "apa pekerjaanmu?" dan itu sangat menggangu bila diajukan kepada orang yang kebetulan sedang mengangggur.
"Hmm, saya..." Aku berpikir apakah perlu menceritakan masalahku pada orang yang baru kukenal. Tapi entah bagaimana, karisma Tristan berhasil meyakinkanku untuk mempercayainya, "Saya baru resign dari kerjaan lama saya. Jadi saya masih meraba-raba cara kerja dan lingkungan perusahaan baru tempat saya kerja sekarang walau sebenarnya saya sudah hampir tiga bulan, sih, pindah ke sini."
Tristan angguk-angguk. "Kamu suka kerjaan kamu yang sekarang?"
Frida adalah orang pertama yang menanyakan pertanyaan itu padaku, dan penanya kedua adalah Tristan di hari itu. Dan tentu saja aku juga menjawab Tristan dengan jawaban yang sama, "Yah, coba dinikmatin sajalah ya. Sama seperti matematika, kalau sudah paham pasti sangat menyenangkan. Pekerjaan juga begitu. Ya kan?"
Jawaban itu bagiku adalah jawaban alternatif dari, "Saya ingin resign dari kerjaan ini!"
Frida terkecoh dengan jawabanku. Dia angguk-angguk dan berkata, "Bagus, deh."
Namun tidak dengan Tristan. Dia menerawangiku. Pria itu bertanya, "Apa ada alasan kenapa kamu nggak menikmati pekerjaan kamu?" Aku agak takjub karena dia begitu peka.
"Kenapa menurutmu saya nggak menikmati kerjaan saya?" tanyaku, ingin mengujinya.
"Karena kalau kamu masih mencoba, dengan kata lain kamu belum terlalu menikmati."
Aku tersenyum-senyum mendengar jawabannya. Wah, pria ini lumayan pintar. Sekali lagi, itu adalah pikiranku kala itu.
Kemudian tanpa menceritakan banyak detail dan hanya garis besarnya saja, aku mulai menceritakan kondisiku pada Tristan. Bahwa di tempat kerjaku saat itu, aku sedang menangani proyek ekspansi perusahaan asing yang ingin masuk ke Indonesia. Produk mereka ada banyak. Tapi untuk fitting dan trial market, mereka memutuskan untuk menjual satu komiditi terlebih dahulu. Aku dan rekanan membantu memetakan segmentasi pasar, merancang perencanaan serta aktivitas marketing mereka seperti brand activation agar memudahkan penyampaian branding dan komunikasi pada konsumen di dalam negeri. Namun banyak kendala teknis yang lebih mirip human error dalam tim internal kami.
"Kamu dituduh menjelek-jelekkan perusahaan tempat kamu bekerja?" Tristan mengkonfirmasi kendalaku.
Aku tertawa renyah, "Oleh anggota tim saya sendiri."
Tristan tidak menghakimiku, "Gara-gara kamu mengadu ke HR perusahaan kamu kalau member tim kamu tidak bisa kerja sesuai tengat waktu?"
Aku membetulkan, "Karena saya melaporkan pengaduan dari klien yang bilang kalau banyak kegiatan di project charter yang belum tuntas. Dan itu sudah terjadi pada setiap klien yang kami pegang. Saya baru tiga bulan, loh, di sana. Setiap hari lembur sampai tengah malam dan merasa selalu mengerjakan semua pekerjaan yang diberikan ke saya tepat waktu. Nggak salah kan kalau saya ngadu ke HR soal anggota tim saya yang suka leha-leha?"
Tristan sepertinya sudah bisa mulai memahami dengan baik masalahku, "Dan karena rekan satu tim kamu ini merasa kamu mengadukan mereka ke HR, makanya mereka menjelek-jelekan bahkan sampai memfitnah kamu, begitu?" tanya Tristan lagi, memastikan.
Aku mendengus dan tersenyum sinis, "Yang saya tahu ya, Tristan, mereka itu iri sama saya karena orang baru seperti saya langsung bisa jadi team leader mereka. Sedangkan mereka yang sudah mengantri lama dan menantikan kenaikan jabatan nggak terpilih."
KAMU SEDANG MEMBACA
EXIT PLAN
ChickLitThe Next Level of Match-Making and Wedding Life. "Tristan? Tampan dan posesif padaku? Ya, itu semua pasti terjadi. DALAM MIMPI!"