"LOH! Tristan?" Aku keluar kamar, menemukan Tristan masih di rumah. "Kamu, kok, masih di rumah?" Jam dinding menunjukan pukul setengah sembilan. "Bukannya kata kamu mau ke kantor jam delapan?"
Rambut Tristan acak-acakan. Pakaiannya masih baju rumahan. Dia duduk menyesap kopi hitam di sofa. Tanpa mengalihkan mata dari koran dia menjawab, "Aku baru ke kantor jam setengah sepuluhan, Karina. Jadwalku dicancel."
Aku menguap sambil angguk-angguk. Gara-gara berhalusinasi tentang Gia-Tristan, aku baru bisa tidur lagi pukul tiga pagi. Bangun kesiangan sampai setengah sembilan itu kesalahan yang sangat fatal! Aku kan harus bersiap-siap sebelum Ibu-Ayah datang! Seperti mendekorasi kamar Tristan, mengunci kamarku, membuat jamuan kecil, menyiapkan Troy karena katanya Ibu akan langsung mengajak Troy jalan keluar! Belum lagi aku harus memperingatkan Mbok Sarmini dan Pak Pito agar tidak sembarangan bicara. Mereka tidak boleh membeberkan informasi ketidakharmonisan rumah tanggaku dengan Tristan!
Yah, tapi selow saja, deh! Aku kan masih punya waktu beberapa jam sebelum Ibu-Ayah tiba. Estimasi kedatangan mereka, sih, jam sebelas siang. Semua hal itu pasti beres tepat waktu.
Melihat resting face Tristan selagi membaca koran, aku jadi ingat kembali bagaimana dia tidur dengan Gia di kantornya. Ingin rasanya aku ambil panci dan menaboknya!
Dongkol, aku sengaja memilih jalan sempit antara sofa dan meja. Aku berjalan tepat di depan Tristan. Pose duduknya terlihat nyaman. Sebelah pergelangan kaki Tristan terangkat, bertumpu di paha. "Minggir, dong!" Aku menendang kaki Tristan dengan dengkul, merusak posisi duduknya.
Perhatian Tristan teralihkan dari koran. Dia melirikku yang berjalan sensi ke arah dapur. Huh! Mulai hari ini, tugasku adalah merusak kenyamanan Tristan di rumah ini.
Setelah mengambil secangkir kopi aku nimbrung di ruang tengah. Duduk di sofa terjauh dari Tristan. Kuamati dia. Memangnya di koran ada apa, sih, sampai bikin Tristan sibuk sendiri? Hellooo! Istri kamu di depan kamu! Sengaja duduk di sini supaya bisa berduaan sama kamu! Kamu malah baca koran! Kalau di kursi ini ada Gia, baru, deh, kamu melek! Nggak cuma melek, bisa jadi malah dijadikan objek hornynya lagi! Sial!
"Tris," Aku panggil suami resekku itu.
"Hmm?" Tak satu detikpun dia melirikku.
"Di koran ada apaan, sih?" Aku menyesap kopi. Tristan tidak menjawab. "Di situ ada cewek bugil atau gimana?"
Bunyi helaian koran menyeruak saat Tristan menurunkan kertas-kertas itu. Akhirnya muka menyebalkannya terlihat juga. Tapi bukan wajah ramah "morning, sunshine"-nya yang dia perlihatkan padaku. Melainkan ekspresi tersedak yang nampak habis tenggelam di laut.
"Jadi memang ada ya?" Aku tertawa sinis. Misiku hanya satu: Tristan tidak boleh nyaman di rumah ini! Khususnya saat di sekitarku! Dia harus semenderita aku yang cemburu mati melihatnya bersama Gia!
"Karina," Tristan mengerjap, "Ini koran bisnis."
"Terus?" Aku mengernyit, "Kan bisa saja kamu selipin majalah di tengahnya."
Tristan geleng-geleng dan lanjut baca koran. Cih! Cepat sekali dia kembali fokus ke bacaannya. Tidak akan kuijinkan! Topik apa lagi yang kira-kira bisa menganggunya?
"Aku penasaran, deh, Tris," Kucondongkan badan. Kedua tangan menumpu di atas bantal di pangkuan. Kuletakkan cangkir kopi ke meja. Aku terbayang penampakan yang tadi malam aku lihat di balik handuk Tristan. "Kita kan cuma pernah sekali ngelakuiin itu. Terus gimana cara kamu muasin diri selama empat tahun ini?"
Tristan kilat menyingkirkan koran dari wajah. "Karina, kamu..." Dia ingin protes. Tapi pengendalian dirinya tak mengijinkan, "Sebenarnya ada apa dengan kamu pagi ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
EXIT PLAN
ChickLitThe Next Level of Match-Making and Wedding Life. "Tristan? Tampan dan posesif padaku? Ya, itu semua pasti terjadi. DALAM MIMPI!"