Plan 47 : TERSERAH... KALI INI... SUNGGUH AKU TAK KAN PEDULI!

9.5K 1.2K 148
                                    



KAMI menghandalkan pick up berkursi panjang dan berterpal sebagai akomodasi kami salama berada di Nusa Lembongan. Bila rental mobil mudah diakses di sini mungkin saja kami akan menggunakan mobil. Tapi saat ini, aku harus menahan diri dari duduk berhadap-hadapan dengan Tristan yang duduk tepat di depanku. Lutut kami bahkan bersinggungan. Bila momen ini terjadi beberapa jam yang lalu aku pasti akan merasa situasi ini sangat romantis. Tapi kini melihat wajah Tristan membuatku ingin membacoknya. Itulah mengapa aku melipat kedua tanganku dan memalingkan wajah ke belakang, pada jalanan yang pick-up lewati.

Pak supir menghentikan kendaraan di belakang suatu penginapan. Kami harus berjalan dari sini bila ingin menuju pesisir pantai. Semuanya berbondong-bondong turun. Sambil menuju ke titik lokasi di mana boat akan mengangkut penumpang, kulihat Tristan berbicara dengan Ayahku.

Setibanya di pinggir pantai berpasir putih bagai tepung ini aku melihat boat yang sedang berlabuh. Kapal itu lah yang akan membawa Tristan kembali ke Denpasar.

Andai saja kapal itu juga bisa menyeberangkan Tristan sendirian ke neraka. URGH!

Para awak boat tengah membantu para penumpang memasukkan bagasi mereka. Kami tidak akan menunggu Tristan sampai dia berangkat. Ayah punya janji dengan temannya yang akan membantu memandu kami berkeliling seharian di Nusa Lembongan.

Ibuku mengangkat Troy dan menuntun putraku untuk mengucapkan "hati-hati di jalan" pada Tristan. Suami tak-tahu-diri ku itu menyalimi para orangtua dengan santun. Semua orang mendadai Tristan

Kecuali aku.

Aku berdiri sendirian di depan kedai hotel, agak jauh dari mereka. Ibuku berulangkali memanggilku, menyuruhku mendampingi Tristan sebelum kami berpisah.

Aku hanya tersenyum dan menggeleng padanya. Pandangan Tristan ikut teralihkan. Dia menatapku dari tempatnya berdiri. Aku melunturkan senyuman. Membuang wajahku.

Angin pantai mengacak rambutku yang tadinya rapi. Kuselipkan poni panjangku ke telinga. Sambil berdoa agar Tristan menjauhkan pandangannya dariku.

Setelah cukup lama berpamit-pamitan, rombongan keluarga beranjak pergi. Sambil saling mengobrol mereka melewatiku yang masih diam memperhatikan Tristan. Pria itu juga berdiri diam menghadap ke arahku. Dia masih menatapku dari tempatnya. Rambut Tristan berantakan diterpa angin. Di belakangnya pantai dan para awak boat sibuk menyiapkan keberangkatan. Debur ombak terdengar berulang di antara kami.

Ibu menghampiriku, "Kamu, kok, diam di sini terus, sih, Kar! Mbok yo ke sana temui suami kamu!"

"Sudah tadi, Bu," Aku mengangguk, "Karina sudah bilang selamat jalan dan hati-hati di jalan ke dia sebelum kalian," dustaku.

Ibuku percaya. Dia mengangguk, mengajakku mengikuti rombongan yang sudah lebih dulu pergi dan melangkah meninggalkanku. Sebelum aku mengekori Ibu aku kembali melirik Tristan. Dia masih bergeming di sana, memandangiku.

Pergi saja, Tris. Aku tidak akan menghambat kamu. Kejarlah apa yang kamu sukai. Ini waktunya aku berhenti mengharapkan apapun dari kamu. Kejar semua ambisimu. Biar aku yang akan mengurus Troy. Lagipula aku tahu sejak awal kalau pernikahan kita tak akan bertahan lama.

Sekali lagi, sebelum berbalik aku perhatikan baik-baik pemandangan ini. Akan aku patri momen ini selalu dalam benakku. Momen di mana aku akan kehilangan hak untuk memanggilnya suamiku.

Aku memunggungi Tristan. Kuambil langkah pergi. Kuharap kapal itu segera membawa Tristan pergi. Supaya aku tidak perlu menahan godaan untuk menampar Tristan hanya karena dia masih satu daratan denganku.

EXIT PLANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang