KEBODOHAN itu harus ada batasnya!
Namun aku belum tahu ambang batas kegoblokanku. Karena pada pukul dua pagi aku masih terjaga di kamar Tristan sendirian, menanti suamiku yang tidak kunjung pulang.
Tristan sudah sering menginap di kantor tanpa konfirmasi dulu padaku. Tapi kali ini, karena aku tahu di mana dia sebenarnya, aku jadi tidak bisa tidur.
Sial! Sindrom jatuh cinta ini makin parah saja! Aku bergerak gerah seperti cacing di atas kasur Tristan, sebal dengan diri sendiri karena tak bisa tidur dan tanpa sadar malah menunggu cowok itu pulang.
Huh! Tidak! Aku tidak mau menunggunya. Kalau aku tidak bisa bobok lebih baik aku cari kesibukan lain. Apapun asalkan tidak memikirkan Tristan.
Syukurnya mengalihkan diri dari Tristan ternyata semudah menjentikkan jari.
Aku menonton maraton drama korea dari laptop. Karena lapar, aku berderap keluar mengambil jajan dari kulkas dan lemari. Sebisa mungkin tidak menimbulkan suara yang bisa membuat semua orang khususnya Ibu-Ayahku di lantai dua bangun mengiraku maling.
Dengan begitu, pada pukul setengah tiga subuh, aku tengkurap di atas kasur Tristan. Menonton program TV di Netflix melalui laptop dalam kegelapan. Dikelilingi oleh makanan dan minuman berlabel 'no sugar, zero calorie' yang bullshitnya kebangetan karena berat badanku dijamin pasti akan naik. Nah, inilah pelarianku. Pelarian terbaik dari dunia nyata! Selalu manjur kalau dunia sedang tidak bersahabat!
Aku tertawa terbahak-bahak sambil mengunyah snackbar. Karena tidak pakai headseat dan hanya menggunakan internal speaker laptop, aku berusaha agar percakapan bahasa Korea yang kutoton tidak bocor keluar kamar.
Tapi aku tidak mempertimbangkan satu hal. Dan satu hal itu adalah kedatangan Tristan.
Click! Pintu terbuka. Lampu kamar berpijar. Di ambang pintu Tristan memandangiku. Aku yang sedang tertawa terpingkal-pingkal tolol sembari mengunyah mulut penuh makanan seketika bengong menatapnya.
Uhuk! Aku tersedak! Tristan menangkap basah aku dalam pose yang sama sekali tidak estetik dan tidak sexy. Aku langsung berdiri dari tengkurap.
"Karina?" Dia masuk dan menutup pintu, "Kenapa kamu belum tidur?"
Nungguin kamu, suami bodoh! Awalnya, sih, begitu. Tapi maaf saja, aku sengaja begadang untuk menonton. Bukan untuk menunggu kamu!
"Nggak bisa tidur," Aku jawab ketus.
"Ini hampir subuh, Karina."
"Nggak, kok," Aku ngeyel. Kulirik jam dinding, "Ini baru jam..." Dan ternyata benar.
Ini pukul empat pagi, saudara-saudara!
Demi pengalihan, aku menudingnya, "Kamu sendiri ngapain baru datang jam segini?"
Tristan duduk di kursi dan melepas kaos kakinya. "Aku habis dari kantor."
Kusipitkan mata, "Yang benar?" Selama empat tahun nyaris serumah dengan Tristan, aku tidak pernah berhasil memojokkan dia. "Aku baru tahu rumah sakit itu kantor kamu juga."
"Aku pergi dari rumah sakit jam delapan malam dan langsung balik ke kantor, Karina." Tristan mengerjap sok polos, "Kamu bukannya tadi ketemu dengan Barata di RS? Kenapa kamu tiba-tiba hilang? Kamu dicari sama dia."
Aku tidak berminat membahas itu. "Ngantuk," Aku menguap. "Aku mau tidur." Aku berbalik. "Aku di kasur. Kamu di lantai. Mau alasnya pakai korden, kek, karpet, kek, atau mau praktis langsung di marmernya terserah. Aku mau tidur."
KAMU SEDANG MEMBACA
EXIT PLAN
ChickLitThe Next Level of Match-Making and Wedding Life. "Tristan? Tampan dan posesif padaku? Ya, itu semua pasti terjadi. DALAM MIMPI!"