Plan 03 : SUAMI BAIK HATI = UDANG DI BALIK BATU (?)

17.1K 1.5K 50
                                    


TRISTAN berdiri di depanku. Wajahnya dingin beku tanpa ekspresi. Kedua tangannya bersembunyi di dalam kantong celana. Dilihat dari manapun, Tristan persis seperti agen mata-mata. Tapi kali ini misinya bukan menyusup ke organisasi penjahat, melainkan menginterogasi istrinya yang tertangkap basah keluar rumah mencari laki-laki lain.

"Karina," Dia memanggilku yang terduduk di sofa. Aku tidak tahu ruang tamu rumah kami bisa sesenyap ini. "Kamu bersikap aneh akhir-akhir ini," katanya. "Apa kamu lagi diganggu?"

Menyiksa rasanya bila harus mengaku dengan mulut sendiri, sedangkan Tristan sesungguhnya pasti sudah tahu motif dibalik kelakukan anehku.

"Hmm, kenapa aku bersikap aneh? Aku nggak aneh, kok," bantahku dengan senyum ramah. "Mungkin kamu saja yang kecapean, Tris." Aku menunjuk sofa di seberangku, "Duduk di sofa dulu, gih, istirahat sebentar."

"Aku dengar laporan dari Pak Tito," Tristan menukas, "Kamu katanya sering bepergian keluar selama aku nggak di rumah."

"Oh, itu..." Aku memutar otak mencari alasan, "Aku sering pergi ke swalayan. Kamu tahu sendirilah aku langganan di sana dan suka jalan-jalan. Tadi saja aku sebenarnya lagi otw ke sana. Karena lagi banyak bahan masakan yang diskon," kupasang senyum termanis yang belum pernah Tristan lihat.

"Jalan menuju swalayan yang biasanya kamu datangi berlainan arah dari Lawson & Yan," Tristan menyipitkan sedikit matanya. Bodohnya aku melupakan hal penting itu. "Dan nggak ada diskon bahan masakan di swalayan dekat rumah kecuali beras dan kecap."

Demi Tuhan, darimana Tristan tahu cuma beras dan kecap yang sedang diskon hari ini?

"Mbok Sarmini juga lagi belanja ke swalayan," Tristan menatapku dengan sorot mata tajam, "Lalu untuk apa kamu mengaku belanja padahal kamu ada di Lawson & Yan?"

Sekakmat! Aku terpojokkan.

Kutundukkan kepala, tidak ingin beralasan lagi. Pada dasarnya memang aku yang bersalah. Kekesalanku pada Tristan hanya mekanisme perlindungan diri saja.

"Apa ini karena cowok itu?" Tristan bertanya dengan nada datar.

Kudongakkan kepala, melihat ekspresi Tristan yang hambar melempam.

"Aku lihat kamu & Troy pulang dengan laki-laki itu seminggu lalu," ujarnya.

Daripada Tristan terus menerka-nerka, dengan wajah tertunduk malu, aku pun menjelaskan, "Namanya Keenan, mahasiswa magang di Lawson & Yan."

Tristan kalem mendengarkan. Tidak ada guratan menghakimi di wajahnya.

"Dia punya dua adik," Apakah Tristan akan memarahiku bila aku jujur? "Namanya Arya dan Andy. Andy satu playgroup dengan Troy. Cuman itu yang aku tahu tentang dia."

Tristan bergeming. Kulihat dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Bisa saja aku salah melihat, tapi aku sempat menangkap raut kecewa selintas dari wajah Tristan yang selalu datar.

"Kamu suka dengan laki-laki itu?" tanya Tristan.

Tercubit rasanya saat Tristan bertanya. Apakah aku menyakitinya bila kujawab suka?

"Ya... Mungkin," Kujawab ragu-ragu, "Aku mau kenal dia sedikit lebih dalam lagi."

Tristan mencetus pertanyaan baru, "Lalu apa langkah kamu selanjutnya?" Dia bersedekap.

"Langkah apa?" Aku mengerutkan kening.

"Kalau kamu sudah mengenal dia, apa yang akan kamu lakukan setelahnya?" Tristan menanyakan pertanyaan yang belum pernah terpikirkan olehku.

EXIT PLANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang