AKU meletakkan kartu undangan pernikahan Sasha-Henri ke atas meja makan. Dalam hitungan minggu seluruh keluarga dari perantauan akan berkumpul di Jakarta. Tidak terkecuali Ibu dan Ayahku. Mereka sangat semangat kembali ke Jakarta. Bahkan sudah memesan tiket pesawat dari jauh-jauh hari.
"Kar, nanti Ibu-Ayah nginap di rumah kamu ya," Ibuku menelpon tadi malam. Hanya untuk mengabari kalau mereka tidak mau menginap di hotel. "Ibu mau main seharian sama Troy. Ada kamar kosong kan di rumah kamu? Di mana saja, deh. Di gudang juga nggak papa kalau kamu tega sama Ibu."
Ya ampun, Bu. Dari mana, sih, Ibu tahu cara memprovokasi orang seperti itu?
"Boleh. Ibu mau nginap di gudang? Nanti barang-barang di gudang Karina pindahin dulu ke kamar tamu supaya Ibu bisa tidur di gudang," Aku tergelak.
Setelah puas mengomeliku, Ibu bertanya, "Oh iya, Tristan gimana kabar? Ibu dengar kemarin Tristan sempat sakit ya? Kalau hubungan kamu dan Tristan bagaimana?"
Aku terdiam. Nama itu menempatkanku pada rasa tak nyaman. Sudah berhari-hari aku tidak melihat Tristan. Seringnya dia menginap di kantor. Kalaupun tidur di rumah, sepertinya dia selalu berangkat jam enam, sedangkan aku belakangan ini susah bangun pagi. Rutinitas kami kembali total seperti dulu. Tidak ada jogging dan sarapan bersama.
Bahkan kami tak saling bertukar WA. Tristan tak pernah mengirimiku pesan.
Seperti tekadnya, Tristan betul-betul mengabaikanku.
Apa? Sedih? Hohoho! Karina Yuwangsa tidak bisa sedih hanya karena itu! Bagiku ini sudah hal yang biasa! Seperti inilah kami biasanya selama bertahun-tahun. Aku malah senang karena tidak perlu cari-cari alasan menghindar dari Tristan lagi. Aku bisa melakukan semua hal sesukaku seperti sebelum Tristan memergokiku pertamakali dengan Keenan.
Maaf, tapi bohong! Ya, semua yang kusebutkan di atas itu bohong. Aku memang sedih. Karina Yuwangsa juga manusia. Mungkin aku bukan Ratu Proton sejati. Karena aku sedang sangat sedih sampai lantai kamarku penuh dengan tisu bekas. Tapi ya tidak sedih dramatis melankolis menatap rembulan sambil merindukan Tristan seperti di sinetron juga, sih.
Kini, setelah sadar aku menyukai Tristan, aku pun resmi menjadi tawanan cinta.
Tahu kan apa itu tawanan? Itu loh! Yang setiap melakukan kegiatan selalu diawasi.
Bedanya, aku seperti diawasi hantu. Dibisiki untuk menghubungi Tristan, mencaritahu kabarnya, mengintip ke kamarnya tiap malam, bahkan setan penggoda membuatku mencium baju bekas Tristan di tumpukan cuciannya.... Ketika makan, bangun dan sebelum tidur, mengantar Troy, seluruh kegiatanku selalu ditemani oleh sipir imajinatif yang menanyakan, "bagaimana kabar Tristan hari ini?"
Aku tidak pernah suka menjadi pihak yang menyukai. Tapi mau tak mau, suka tak suka, memangnya perasaan bisa dikontrol? Mungkin di masa mendatang akan ada remote kontrol pengontrol perasaan seseorang! Oh, oh! Atau menara kontrol khusus untuk menertibkan rasa dan nafsu manusia hingga kasus cinta segitiga dan perselingkuhan bisa dihitung dengan jari! Sayangnya aku tidak hidup di jaman secanggih itu! Aku hidup di masa konvensional di mana perasaan orang cenderung ababil dan mudah goyah. Seperti perasaanku.
Pada akhirnya, kemarin malam, demi menjawab pertanyaan Ibuku, aku pun berbohong bahwa hubunganku dan Tristan baik-baik saja. Bahkan aku sedikit membumbui, "Mesra banget, Bu! Bahkan kayaknya Troy bisa punya adik, nih!" Bodo amat, deh, Ibu mau menanggapinya seperti apa!
"Oke, jadi setelah lo sadar kalau lo suka Tristan terus apa yang akan lo lakuiin, Kar?" Aku sedang mematut bayangan di cermin ketika Frida menelpon. Kuhidupkan mode loudspeaker agar bisa mendengar suara Frida sambil bersiap-siap pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
EXIT PLAN
ChickLitThe Next Level of Match-Making and Wedding Life. "Tristan? Tampan dan posesif padaku? Ya, itu semua pasti terjadi. DALAM MIMPI!"