"SELAMAT siang, Bu," Seorang staff wanita berseragam respsionis menyambutku ketika sebetulnya aku mau langsung ngeloyor menuju lift.
Saat ini aku baru saja keluar dari taksi di pelataran gedung kantor. Kini aku berada di lobi luas dan beratap tinggi. Hari ini kantor sunyi senyap. Hanya ada segelintir orang yang berlalu lalang. Justru itu yang wajar. Manusia normal pada hari Minggu harusnya punya gairah untuk kabur dari kantor. Suamiku memang alien. Cuma dia yang punya kemampuan menikmati bekerja layaknya berlibur di pantai.
"Saya mau ketemu Pak Tristan," aku berhenti agak jauh dari respsionis.
"Apa sudah janjian, Bu?" Dia bertanya.
Aku menggeleng. Bagaimana mau janjian? Suami saya tidak balas chat saya, Mbak!
Aku tidak sering bertandang ke kantor Tristan. Di kantor sebesar ini, shift karyawan pasti bergilir. Aku sudah antisipasi kalau staff respsionis tak kukenal ini akan memintaku mengisi formulir tamu atau menyuruhku menunggu sesuai standar operasional. Padahal kan aku cuma mau bertemu Tristan. Kamar kami bahkan bersebalahan di rumah, kok! Mau ketemu saja masa seribet itu? Dan ternyata benar, dong! Staff wanita itu menyodorkan aku formulir tamu.
"Bisa diisi dulu formulirnya ya, Bu."
Suami saya sedang sekarat, Mbak! Sekarat! Bisa jadi dia sudah muntah-muntah dan pingsan tergeletak di lantai kantornya! Dan saya disuruh isi formulir untuk membawanya pulang? Andai digigit ular, suami saya bisa mati duluan sebelum saya datang, Mbak!
Dengan ramah aku tersenyum padanya, "Sebentar ya, Mbak." Cekatan aku menghubungi Yudha. Tapi aku tidak jadi membuka HP ketika sekretaris Tristan itu muncul dari arah elevator.
"Sil, Ibunya sama saya," Yudha tersenyum pada pegawai respsionis yang langsung menyetujui. "Mari, Bu Karina," Laki-laki berpakaian kemeja lengkap itu mengarahkanku agar mengikutinya.
"Bapak di mana sekarang, Yudh?" tanyaku saat sudah di dalam lift.
"Masih bersama tamu, Bu," Yudha menekan tombol menuju lantai 18. "Hari ini hari Minggu jadi semua supir diliburkan, Bu. Pak Tristan juga bawa mobil sendiri tadi pagi. Kebetulan tadi Bu Karina nge-chat saya. Jadi sekalian saya pikir lebih baik Bu Karina bantu periksakan sekalian antar pulang. Sebetulnya saya nggak enak panggil Ibu ke kantor. Soalnya Pak Tristan kemarin sempat bilang Bu Karina dan Troy ada acara. Jadi mohon maaf ya, Bu, ganggu pas weekend."
"Duh, Yudh," Aku melambaikan tangan, "Saya, kok, yang ngerepotin kamu. Makasih ya," Aku memeriksa kelengkapan alat merawat Tristan dalam tas yang kubawa dari rumah. Semua ini kubawa karena aku bertaruh Tristan pasti ingin dirawat di kantornya saja.
Iya, kantor ini kan rumah keduanya. Suka, duka, senang, sedih, bahkan mati pun sepertinya juga ingin Tristan rasakan di sini nanti! Saat sakit terakhir kali pun Tristan memilih istirahat di ruangan kerjanya.
"Terus Bapak gimana, Yudh?" tanyaku, "Dia nggak ada minta tolongin kamu buat beli sarapan atau obat?"
Yudha menggeleng, "Begitu lihat Bapak selalu megang kepala saya sudah tawari belikan obat, Bu. Tapi Bapak bilang nggak perlu."
Begitulah Tristan. Tak hanya denganku, dia juga abai dengan dirinya sendiri.
Selagi menunggu lift membawa kami naik ke lantai 18, aku teringat pertanyaan Frida.
"Yudh."
"Ya, Bu?"
"Biasanya Bapak kalau makan siang di mana ya?"
Yudha menjawab cepat, "Kadang di ruangannya, makanannya nitip saya atau delivery, kadang keluar pergi sama tamu atau rekan dan partner kerja yang lain. Nggak nentu, sih, Bu."
KAMU SEDANG MEMBACA
EXIT PLAN
ChickLitThe Next Level of Match-Making and Wedding Life. "Tristan? Tampan dan posesif padaku? Ya, itu semua pasti terjadi. DALAM MIMPI!"