"APA yang kamu maksud? Aku nggak ngerti satupun ucapan kamu!" Tristan mengernyit dalam. "Pindah ke Brisbane? Siapa yang pindah ke sana?!"
Aku mengernyit, "Kamu kan pindah ke sana bulan depan?" tanyaku bingung.
"Aku nggak pindah ke mana-mana, Karina."
"Tapi..." Lah? Loh? LOH?!
"Bulan depan aku perjalanan bisnis ke Brisbane. Bukan pindah ke sana"
APAAA?!
"Aku bahkan cuma tiga hari di sana."
HAHH?!!!!!!
"Setelah itu aku langsung pulang ke Jakarta."
IBUKU TERSAYANG!!!! AKU MENANGIS KARENAMU SEKARANG!
"Siapa yang bilang aku bakal pindah ke Brisbane tiga tahun?" Tristan bertanya sambil menertawakan wajah bengongku.
Aku menjawab sambil masih menatap Tristan tidak percaya, "Ibu bilang gitu."
"Kamu percaya?" Senyumnya merekah. Masih sambil melongo aku mengangguk apa adanya. Tristan pun tergelak. Belum pernah seumur-umur kulihat Tristan tertawa begini.
Aku memanyunkan bibir. Tristan tertawa lama sekali. Aku memang bodoh, sih! Dan aku sangat suka melihat Tristan tertawa. Dia seperti anak kecil. Tapi tolong jangan ketawakan aku lebih dari ini, dong, Tris! Aku kan malu! Aku juga jadi kesal, nih!
"Lucu?" Aku tersenyum sinis menatap Tristan. "Sudah puas ketawanya?"
Tristan mengangguk kalem, tawanya meredup menjadi senyum, " Lumayan."
Lumayan? Dasar suami kamvret!
"Ternyata kamu punya banyak kesalahan, Karina," Tristan menekuk ujung bibirnya.
Aku berkacak pinggang, "Iya, deh, kamu benar. Aku salah."
"Kesalahan kamu sangat fatal."
Aku memberengus, "Sebutin saja. Kamu nggak tahu ya istri itu menyimpan lebih banyak kesalahan suaminya daripada kesalahan orang lain? Aku juga bakal sebutin semua kesalahan kamu. Jadi sebutin saja kesalahan aku. "
Tristan tersenyum hangat, "Aku nggak menikah sama kamu karena terpaksa,"
"Yaya, nggak menikah karena—" Aku mengerjap, tertegun. Apa?
"Kamu memang hamil," Tristan menggeleng kecil. Senyumnya nampak sangat culas, "Tapi aku bukan pria sebaik dan sebertanggung jawab yang kamu pikirkan yang mau menikahi cewek karena dia hamil."
Tapi... Tapi Tristan jelas mengatakannya di telepon di hari pernikahan kami...
"Bahkan kalau orang-orang di sekitar menjodohkan aku, aku nggak punya waktu untuk itu." Tristan sempat menunduk sebentar karena malu sebelum matanya kembali menatapku. "Karena aku nggak akan mau menikah dengan wanita yang aku nggak suka."
Oh, Tuhan.... Hatiku terasa hangat. Eh, tidak, tidak! Aku kepanasan! Panas sekali! Sampai rasanya kalau ada telur di wajahku telurnya bisa matang dengan sendirinya!
Aku harus menjawab Tristan dengan sesuatu! Ini sudah lewat lima detik! Kalau aku tidak mengatakan sesuatu Tristan akan tahu kegugupanku!
"Aku..." Aku berdeham. Tegaskan wajahmu, Karina! Tunjukkan wajah sangarmu! "Aku sudah tahu kalau kamu sudah suka aku dari dulu, kok," Aku bersedekap dan membuang wajah malu.
"Oh ya?" Tristan menatapku penuh selidik. "Bukannya kamu bilang kamu mencoba membuat aku suka sama kamu? Mencari perhatian aku?"
Duh! Dia, kok, masih ingat perkataanku, sih!
KAMU SEDANG MEMBACA
EXIT PLAN
ChickLitThe Next Level of Match-Making and Wedding Life. "Tristan? Tampan dan posesif padaku? Ya, itu semua pasti terjadi. DALAM MIMPI!"