"RASAIIN, tuh, Kar!" Frida tertawa terpingkal-pingkal setelah mendengar ceritaku. Ingin, deh, aku sodok sobatku ini dengan troli yang sedang kudorong. "Lo jadi istri banyak tingkah, sih, Kar, pantaslah suami pendiam lo jadi berubah suka ngeusilin lo!"
Huh! Aku kan tidak curhat untuk mendengarnya meledekku. Memang ya, curhat ke teman itu banyak risikonya. Antara hati plong tapi diketawai atau tak ngomong tapi ngendap jadi penyakit.
"Kok, lo malah ketawaiin gue, sih, Frid!" Aku mengambil satu pak tisu dari rak dan membantingnya ke dalam troli. "Awas ya lo besok-besok pas punya suami! Balas dendam beneran, deh, gue. Gue ketawaiin lo sampai gue puas."
Frida tidak menghiraukan ancamanku. "Terus gimana kelanjutannya? Setelah lo kira Keenan ngajak lo kencan dan Tristan ngetawaiin lo, hubungan kalian setelah itu gimana?"
Aku mencebik, "Gue lagi mogok ngomong sama Tristan."
Frida menyumbat tawa, "Nggak sekalian kabur dari rumah saja, Kar?"
Hmm, itu ide yang bagus, sih. "Terus anak gue gimana? Gue bawa kabur juga apa gimana?" Aku tergelak.
"Ya biarin saja di rumah," selorohnya enteng, "Biar Tristan tahu kehidupannya sekarang itu bisa nyaman karena ada lo. Anak, lo yang ngurus, rumah, juga lo yang ngurus. Dia? Biasanya kasih money kan? Sisanya semua yang lo atur kan? Lo kan sebenarnya juga kaya, jadi kalau menghidupi diri dan kebutuhan Troy nggak perlu Tristan banget kan? Makanya, kapan-kapan dia ketawaiin lo lagi, ya tinggal ancam kabur dari rumah saja. Dia pasti nyariin lo, kok, disuruh balik ke rumah. Tristan kan cinta, tuh, sama lo," Frida lanjut cekikikan.
Aku tahu Frida hanya bercanda. Dan aku juga tidak tertarik kabur dari rumah.
Sayangnya metode penyelesaian masalah seperti itu bisa berakhir bahagia hanya bila suami-istri saling mencintai.
Nah, kalau aku pakai metode kabur dari rumah? Mungkin Tristan akan bilang, "Ya silahkan, Karina. Ini baju, almari, panci, dan semua barang-barang yang kamu pernah beli tolong dibawa juga ya. Troy biar aku saja yang urus. Aku akan cari Ibu baru untuknya. Adios!" Lalu mengirimkan aku surat cerai bagaimana?
Aku, sih, bukan khawatir masalah finansial setelah cerai. Dan silahkan saja kalau Tristan mau cari 100 wanita sebagai istri barunya. Aku baik-baik saja dengan itu. Malah kalau dia betulan menikahi 100 wanita aku mungkin dengan senang hati datang ke 100 acara pernikahannya.
Yang aku takutkan sebenarnya adalah Troy dan efek bercerai kami untuk kehidupannya di masa mendatang. Aku tidak mau merengut satupun momen kebahagiaan putraku. Atau menorehkan trauma apapun di masa kecilnya.
Kekesalanku pada Tristan lagipula masih bisa ditampung, kok. Semoga saja suamiku itu tidak banyak berulah. Toh, dia hanya suka menjahiliku, masalah remeh stadium satu.
Jelas cerai masih terlalu dini untuk dibahas. Kartu keramat terlarang yang hanya bisa dibuka kalau salah satu dari kami sudah sangat menyerah.
"Kalau gue kabur dari rumah, Tristan nggak akan nyusulin gue, Frid," cemoohku.
"Loh, kenapa gitu?" Frida terhenyak, "Gue lihat dia sayang, kok, sama lo, Kar."
"Masa, sih?" Ya, itu kewajiban Tristan sebagai suami agar terlihat sayang padaku, istrinya, di depan publik. Apalagi Tristan itu manipulatif. Dia mampu membuat semua orang berpikir dia mencintaiku hanya dengan jentikkan jari.
"Oh my god," Frida menyekal tanganku hingga aku dan keranjang belanjaan yang kudorong terhenti. "Lo seriusan berpikir Tristan nggak sayang sama lo, Kar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
EXIT PLAN
ChickLitThe Next Level of Match-Making and Wedding Life. "Tristan? Tampan dan posesif padaku? Ya, itu semua pasti terjadi. DALAM MIMPI!"