Plan 27 : DUA GARIS MERAH

11.3K 1K 36
                                    


Pesan dari penulis : 

Malam all! Aku cuma mau sampaikan saja, nih! Kalau Karina & Tristan estimasi bakal ada 50 bab-an.  Dan.... 

(Menurutku) ceritanya akan semakin seru mulai dari Plan 27 ini hohoho! 

Untuk yang berkenan bisa follow, vote, komen yaa, thankyou! 

Happy reading!


*** 


PERANGKAP Tristan atau bukan, satu yang aku tahu bila aku melakukan hal terlarang dengan seorang pria di luar menikah. Tanpa pelindung. Di hari yang tidak aman.

"Kamu hamil, Kar," Kuajak diriku bercengekerama di depan cermin kamarku. Empat tahun lalu, saat pertamakali menemukan fakta itu, rasanya aku ingin bunuh diri saja. "Kamu punya sesuatu di dalam perut kamu, Demi Tuhan!" Aku mengacak rambutku dengan kedua tangan, menatap wajah frustrasiku di depan kaca.

Beberapa hari belakangan itu keadaanku menunjukan seluruh gejala kehamilan. Mulai dari mual, terlambat menstruasi, keram dada, keram perut, nyeri dan semua hal yang belum ingin kurasakan. Sekali lagi, belum ingin dan belum kuharapkan terjadi.

Umurku dua puluh enam hari itu. Tidak ada yang heran bila aku punya anak. Dan aku juga ingin punya anak. Tapi itu suatu hari nanti! Nanti! Kalau aku sudah punya suami! Masalahnya saat itu aku belum menikah! Semua orang akan bertanya-tanya dan mempertanyakan kesucian yang konon harus dijaga sebelum menikah.

Tapi sewaktu bersama Tristan dua minggu sebelumnya? Itu pertamakalinya dan aku minim pengetahuan tentang hal-hal bebas seperti itu. Apalagi ketika aku membeli test pack dan ternyata alat itu menunjukkan dua garis merah!

"Apa yang terjadi sama kamu selanjutnya, Kar?" Aku rasanya ingin menangis di depan cermin waktu itu. Kutatap perutku yang masih sangat rata, mematut diri di depan kaca.

Dua puluh enam tahun memang bukan usia muda. Itu usia yang tepat untuk menikah dan punya anak. Jika Ibuku tahu aku mengandung, dia pasti akan sangat senang.

"Eureka! Hore! Anak saya hamil! Saya akan punya cucu!" Mungkin Ibu bakal keliling kota sambil berteriak seperti itu dengan joget dangdutnya.

Namun aku tidak yakin dia akan tetap berjoget ria kalau tahu aku hamil tanpa suami. Ayah dan Ibuku mungkin malah akan mengusirku. Mereka akan benar-benar menghapusku dari Akta Keluarga karena malu. Kami, keluarga Handoko, belum pernah tertimpa kasus seperti ini. Tidak ada sepupu bahkan kerabatku yang mengandung di luar menikah.

Ibu bahkan pernah bilang dia tidak suka melihat wanita liar di malam hari. Beliau berkata lebih baik dia melakukan harakiri dibandingkan punya keluarga yang seperti itu. Jadi mengatakannya ke Ibu-Ayah sama sekali bukan solusi! Itu namanya bunuh diri!

Dan aku juga punya prinsip. Prinsipku melarang melakukan aborsi. Dan lagi, aku sangat ingin punya anak. Sangat! Aku mau menghidupi anak ini seorang diri. Aku bisa!

Aku cape-cape bekerja kan untuk bisa menafkahi diri sendiri. Aku mampu. Aku bisa!

Sayangnya aku tidak hidup sendiri. Ada banyak mata dan mulut di dunia ini. Karenanya hidup itu soal bersosial. Maka aku juga harus siap dihakimi. Namun bukan itu yang membuatku khawatir. Aku takut akan konsekuensi dari pilihan yang aku tempuh dapat menyakiti orangtuaku. Ibu dan Ayahku mungkin akan menanggung malu. Mereka sudah tua, pasti akan sulit bagi mereka hidup bersosial nantinya. Apalagi mereka sudah akan pensiun, akan lebih banyak waktu luang untuk bergaul. Bagaimana bila mereka malah dirundung karena punya anak sepertiku? Moral sosial juga tidak memperbolehkan rumah tangga yang hanya terdiri dari satu anak dan satu istri. Rumah tangga dinyatakan sah bila ada kepala rumah tangga. Dan kepalanya haruslah seorang pria.

EXIT PLANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang