Anya Jolicia Loen, gadis berusia empat belas tahun itu terlihat uring-uringan sendiri di hari bahagianya yang tak lain adalah hari ulang tahunnya.
Ia tidak berhenti menatap ponselnya yang dibanjiri oleh ucapan selamat ulang tahun dari sanak keluarga dan saudaranya. Jangan tanya apakah teman-temannya ikut mengucapkan selama atau tidak karena Anya sama sekali tidak memiliki teman satu pun. Setidaknya untuk sekarang.
Tapi saat ini Anya sedang menunggu ucapan dari seseorang yang sama sekali tidak mengabarinya dari kemarin. Padahal biasanya pria itu mengucapkannya tepat di jam dua belas malam. Apakah pria itu sudah melupakan hari ulang tahunnya yang setiap tahun pasti dirayakan oleh pria itu sendiri?
"Uncle Erick ke mana? Kenapa tidak mengucapkan apa pun padaku? Uncle Erick sibuk, ya?" monolog Anya.
Sebanyak apa pun orang mengucapkan selamat padanya, itu tidak berarti jika pria dewasa yang merupakan pamannya itu tidak mengucapkan sepatah kata apa pun padanya.
Ting tong!
Ethan yang sedang bersantai bersama kedua bayi kembar laki-lakinya di ruang keluarga, mulai beranjak dari duduknya untuk membuka pintu dan mendapati Erick Jason Loen, sang adik yang sudah berpakaian rapi sedang menenteng sebuah paperbag bertuliskan brand tas terkenal.
"Oh, ada apa kemari? Ingin mengajakku pulang lagi?" tanya Ethan pada pria dewasa yang sudah menginjak akhir dua puluh sembilan tahun itu.
"Sepertinya aku tidak ada kerjaan selain mengajakmu pulang, ya," sahut Erick namun dengan mata yang mengamati seisi rumah, mencari keberadaan seorang gadis.
"Di mana Anya?"
"Kau-"
"Anya ada di kamarnya. Masuk saja, sepertinya dia akan senang menerima kejutan darimu," sahut Olivia yang baru saja kembali dari dapur. Sementara Ethan hanya mendengus kesal karena dengan mudahnya Olivia membiarkan Erick menemui Anya di kamar.
"Terima kasih, Kakak Ipar. Aku izin menemui Anya, ya."
Sebelum itu, Erick menyapa dua bayi kembar yang merupakan anak ketiga dan keempat Ethan dan Olivia. Ia senang jika kedua pasangan itu dikarunia kembali dua anak sekaligus setelah lama menanti kehadiran buah hati.
Setelah kepergian Otis untuk selama-lamanya, Ethan dan Olivia selalu berusaha membuat anak lagi namun harus gagal hingga tiga kali keguguran.
Setelah selesai menyapa dan tidak lupa memberi hadiah kepada dua bayi itu, Erick melanjutkan langkah menuju tujuannya datang kemari yaitu kamar Anya. Tetapi langkahnya terhenti ketika mendapati Ethan yang berjalan di sampingnya.
"Kenapa kau mengikutiku?"
"Entah kenapa, membiarkanmu berdekatan dengan Anya membuatku was-was," ucap Ethan membuat Erick berdecak kesal.
"Ethan, biarkan saja." Olivia menarik lengan suaminya agar berhenti mengikuti Erick. "Kau ini terlalu berlebihan."
Olivia tidak habis pikir pada Ethan yang terlalu mengekang pergaulan Anya. Jika terlalu berlebihan seperti itu, masalahnya Olivia takut jika Anya akan semakin melawan.
"Aku hanya waspada."
"Dia adalah adik laki-lakimu, Ethan, mana mungkin dia menyakiti Anya, sudah untung dia sangat menyayangi anak-anak kita."
Ethan pun mengusap kasar wajahnya karena frustrasi. Apa salahnya jika dirinya hanya waspada?
Erick tersenyum miring dan melanjutkan kembali langkahnya menaiki tangga. Dan saat ini ia berdiri di depan pintu kamar keponakannya. Entah kenapa bertemu dengan Anya selalu membuat Erick senyum-senyum sendiri.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!" Terdengar suara seorang gadis dari dalam kamar membuat darahnya berdesir. Ia pun membuka pintu kamar dengan sangat hati-hati.
Jantung pria itu selalu berdebar-debar saat melihat gadis pujaan hatinya yang tak lain adalah keponakannya sendiri.
Gadis itu tidak mengetahui siapa yang masuk ke dalam kamar karena posisinya tengkurap di ranjang membelakangi pintu.
"Anya."
Terdengar suara bariton kesukaan Anya membuatnya membalikan tubuh seketika.
"Uncle Erick!"
Anya berlari menghampiri Erick yang masih berdiri di dekat pintu. Ia terlihat senang menerima paperbag yang diberikan oleh pamannya itu.
"Boleh kubuka?"
"Silakan."
Gadis itu memekik senang karena mendapatkan tas keluaran terbaru dari brand terkenal yang sangat diimpi-impikan olehnya.
"Happy birthday, Anya-ku." Erick mencubit gemas pipi keponakannya.
"Dari mana Uncle tahu bahwa aku menginginkan tas ini?"
"Dari mana, ya?" goda Erick.
"Pasti mahal."
"Tidak jika untukmu."
Anya tersipu malu membuat Erick gemas sendiri. Entah harus enak atau tidak enak, Anya sebenarnya merasa dirinya selalu menguras dompet pamannya walau tidak ingin.
Semua keinginannya sudah terpenuhi oleh Erick tanpa dipinta seakan pria itu mengetahui isi hatinya. Bahkan belum saja ia meminta pada kedua orang tuanya, Erick sudah lebih dulu membelikannya.
"Terima kasih, Uncle Erick."
Setelah itu kedua bibir mereka bertemu karena gerakan tak sengaja yang saling bertabrakan. Anya berniat mencium pipi Erick namun Erick pun berniat mencium pipi Anya sehingga wajah mereka saling berhadapan.
Kedua insan itu hanya bisa terdiam karena masih mencerna apa yang terjadi, kedua bibir mereka masih bertemu hingga Anya yang memutuskan terlebih dahulu tautan bibir mereka.
"Maafkan aku sudah lancang, Uncle," ucap Anya dengan menundukkan kepala sambil memainkan ibu jarinya.
"Itu hanya kecelakaan, Anya sayangku, tenang saja." Erick tersenyum hangat sambil mengelus kepala Anya untuk menenangkan keponakannya itu, padahal dirinya sendiri tidak tenang karena jantungnya berdetak sangat cepat hingga memekik telinga.
Setelah kejadian itu, perasaan mereka tidak lagi sama setidaknya bagi Erick. Bagaimana tidak, darahnya selalu berdesir dengan jantung berdebar hebat setiap bertemu dengan Anya dipertemuan berikutnya. Perasaannya sudah berubah menjadi sebuah perasaan yang terlarang untuk paman kepada keponakannya.
Tuesday, 26 September 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsession
Romance[LOEN #3 | Erick & Anya] Bagaimana jika seorang lelaki dewasa justru mencintai dan terobsesi pada keponakannya sendiri? Ya, begitulah perasaan yang dimiliki oleh Erick Jason Loen pada Anya Jolicia Loen. Setiap hari pria itu dilanda kegusaran karena...