"Kenapa sikap kamu ke chika kaya tadi?" tanya gracio.
Ara yang duduk didepan meja kerja gracio hanya menundukkan kepalanya takut.
"Jawab zahra nur." ucap gracio tegas.
"Kan ara udah bilang pa, ara ada kerjaan di kamar yang mungkin bakal ngeganggu chika dan bikin kamar berantakan lagi." jelas ara.
Gracio menatap anak semata wayangnya.
"Liat papa zahra." ucap gracio.
Ara menatap mata tajam gracio takut, pasti papanya akan marah kalau ia berbohong.
"Siapa wanita yang kamu temui di cafe tempo hari?" tanya gracio.
Ara sedikit terkejut, mengapa papanya tau? apakah mungkin chika mengadu? tetapi ia sendiri tidak bercerita pada chika.
"Klien itu mah." ucap ara sesantai mungkin.
Gracio menunjukkan beberapa bukti foto pada ara.
"Ada klien seperti ini?" tanya gracio.
Lagi lagi ara dibuat terkejut dengan bukti yang ditunjukkan oleh gracio.
"Indy, buka pacar dan bukan teman kamu. I can call you and her friend with benefit." ucap gracio.
"Kamu ingat kan zahra bahwa kamu sudah ada chika, papa harap kamu dan dia sudab tidak ada hubungan seperti itu lagi." lanjut gracio.
"Kita cuman temen pa, lagian papa dapet foto itu darimana dan dari siapa?" tanya ara.
"Kamu ga perlu tau papa dapat darimana, yang harus kamu tau chika dan kamu akan segera bertunangan."
"Loh cepet banget, kan ara belum nyiapin apapun pa masa secepat itu sih tunangannya."
"Kamu menolak zahra? kenapa? kamu masih mau berhubungan dengan indy?"
"Papa tahu betul indy siapa dan seperti apa, walaupun kamu lebih tau dia tapi papa kenal keluarganya jauh sebelum kamu."
"Indy kesini hanya berliburan, maksud dia kesini untuk memberitahu kamu mengenai pernikahannya yang akan digelar musim panas nanti." lanjut gracio lalu ia memberikan undangan pada ara.
"Sebelum kamu bertemu indy, papa sudah lebih dulu bertemu dia bahkan dia ke kantor papa untuk memberikan undangan itu."
Ara menatap undangan berwarna silver yang ada didepannya itu, bertuliskan nama gadis yang beberapa hari lalu menginginkannya.
"Papa ga lagi bohong atau ngprank ara kan?" tanya ara tak percaya.
Gracio menggeleng. "Papa serius zahra."
Ara menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya, ia tersenyum tipis.
"Ara izin keluar." pamit ara.
"Papa tau kamu akan bertemu dengan indy." ucap gracio.
"Papa berikan waktu sampai pukul dua belas malam, setelah itu kembali pulang." lanjut gracio.
Ara berjalan gontai keluar dari ruang kerja gracio, pikirannya sudah tidak karuan setelah melihat surat undangan dari indy.
Sementara itu gracio menggelengkan kepalanya pelan melihat tingkah anaknya yang masih labil.
"Gambaran gua banget si ara." guman gracio.
Gracio mencoba menghubungi anak buahnya untuk mengikuti ara dari belakang.
Setelah itu ia keluar dan menuju ruang tamu ternyata disana ada shani yang belum pindah.
"Kok kamu disini? chika udah tidur?" tanya gracio yang membuat shani sedikit terkejut.
"Ngagetin aja kamu." shani mengelus dadanya.
"Udah, dia baru aja tidur tapi malah aku yang ga bisa tidur." ucap shani.
"Kenapa? ada yang dipikirin?" tanya gracio, shani mengangguk pelan.
"Aku mikirin hubungan anak kita mas, ara labil banget kayanya." ucap shani.
Gracio tersenyum. "kamu inget ga dulu aku juga kaya ara?" shani mengangguk.
"Aku kaya liat diri aku sendiri pas ara labil begitu, kita ga berhak ikut campur masalah mereka tapi kita juga kasih mereka pengertian, jadi tempat cerita mereka, kalo ada yang salah tegur aja." jelas gracio.
"Aku ga mau mas kalo kamu kaya papa, kasar ke anak sendiri, ya kamu kan cowo kalo ara kan cewe kasian kalo dia dikasarin." ucap shani.
"Iya sayang tau kok, aku ga akan sejahat itu sama ara tapi kalo ara sepengecut itu ke chika, aku ga janji buat ga kasar sama dia ya." ucap gracio.
"Jujur mas, aku kurang suka kalo ara balik lagi ke indy." ucap shani.
"Kita tau sendiri keluarga dia, lingkungan dia kaya gimana, makanya akh takut kalo ara kaya dulu." lanjut shani.
"Iya sayang aku tau kok, aku tau ketakutan kamu kaya gimana, aku juga ga mau ara yang dulu balik lagi, aku udah lebih suka kalo ara sama chika." ucap gracio.
"Mama papa kamu ga tau kan sayang kalo kita disini?" tanya gadis berambut blonde yang ada didekapan ara.
"Ngga sayang, aman kok. Aku bilangnya lagi ngumpul dirumah adel dan aku udah minta adek buat ga ngadu ke mama papa." ucap ara.
Suara dentuman musik malam ini sangat keras, bau alkohol menyeruak ke indera penciuman ara, bahkan saat ini ia sudah dalam pengaruh alkohol.
"Babe, can i kiss you right now?" bisik indy.
"Sure, i'm yours baby." bisik ara.
Keduanya berciuman dengan penuh nafsu, tangan ara bergerak mengelus punggung indy yang terekspos.
Ara menarik pelan tubuh indy agar duduk di pahanya.
Indy lebih dulu melepaskan ciumannya dan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.
"I like your lips ara." bisik indy.
Ara tersenyum, matanya sayu menatap mata indy.
"Wanna play with me?" tanya ara.
Indy mengangguk lemah.
Keduanya berjalan sempoyongan menuju ruangan yang sudah di booking sebelumnya.
147. Kamar yang dipesan oleh ara untuknya dan indy.
Hasrat sudah diujung tanduk, keduanya sudab tidak tahan menahan nafsu, ara mendorong kasar tubuh indy untuk berbaring di kasur.
Tangannya semakin nakal dengan menyingkap dress sexy milik indy, terpampang surgawi yang ara inginkan berwarna pink segar.
"Shit, i like this." gumam ara.
Bibir ara langsung menari-nari dibawah sana.
Suara desahan indy memenuhi ruangan ini, seluruh tenaga ara keluarkan untuk menyentuh indy, hanya indy.
Sementara dari luar ruangan gracio, shani dan bodyguardnya mencari-cari keberadaan ara keseluruh kamar.
"Tinggal satu kamar yang belum kita liat." ucap gracio.
"Beni, kamar no 147." lanjut gracio.
Beni dan gracio berjalan gontai ke ujung lorong.
"Bos, ada orang didalam." ucap beni.
Gracio menempelkan kupingnya pada pintu. Ia menggeram kesal ketika mendengar suara yang ia kenali dan nama yang diserukan."Bantu saya mendobrak pintu ini." beni mengangguk.
Brak!
"ZAHRA!" teriak gracio.
***
wayolo ada apa ni rame bner
lanjutannya nanti abis kerjaan gua beres ya gaesss🙌
maaf kalo typo
TBC~~~

KAMU SEDANG MEMBACA
To the moon [chikara]
Fiksi Penggemar⚠️WARNING⚠️ - GXG AREA!! - no baper, cuma cerita!! - 17+ jangan bawa-bawa cerita ini ke member, ini cuma cerita karangan author. thanks.