Maura memarkirkan mobilnya di garasi, lalu membawa tubuhnya yang masih terbalut blazer formal menuju rumah tetangga di seberangnya. Kevin telah memberitahu jika Stev dibawa oleh Bu Ningsih, Maura tenang mendengarnya sebab wanita itu memang sebelumnya menawarkan diri untuk menjaga Stev selama ia sedang bekerja.
Maura menekan bel rumah di depannya dua kali, hingga pintu itu terbuka menampilkan sosok Bu Ningsih. Ia pun tersenyum dan menyalaminya.
"Stev, di dalam tuh lagi main congklak sama Arvie."
Maura tertegun sejenak bertanya-tanya siapakah sosok Arvie tersebut sambil terus membuntuti langkah Bu Ningsih. Hingga setibanya mereka di sebuah ruang keluarga, hati Maura lagi-lagi mencelos melihat Stev yang tertawa riang di balik punggung lebar pria yang membelakanginya saat ini.
"Eh, curang ya, lo?" tebak Arvie geram. Hal tersebut membuat Stev terkikik geli hingga tubuh kecilnya hampir terjengkang ke belakang.
Siapa pun yang melihat tawa dari Stev saat ini pasti akan memekik gemas, termasuk Maura yang tanpa sadar ikut tersenyum melihatnya.
"Stev, tidak curang, Pipi!" pekik Stev tidak terima.
"Mana coba sini gue lihat tangan lo," tantang Arvie berusaha meraih kepalan tangan bocah gembul itu.
Namun senyum Maura menghilang kala menyadari satu hal, jantungnya seakan berhenti berdetak, "Pipi?" pekiknya penuh tanya.
Kedua objek yang menjadi perhatian Maura serta Bu Ningsih sejak tadi pun menoleh kaget.
"Mommy!" Stev lantas berlari menghampirinya setelah tanpa sadar menendang papan congklak di bawahnya. Bocah itu langsung memeluk lutut sang ibu erat.
"Stev, kangen, Mommy," Maura yang mendengar penuturan sang putra sontak menunduk dan tersenyum tipis. Ia mengusap pucuk kepala Stev penuh kasih, hingga tanpa sengaja tetranya bersinggungan dengan sosok pemuda yang juga tengah menatapnya.
Pemuda dengan rambut terikat setengah dan tubuh terbalut kaus oblong tanpa lengan berwarna putih yang dipadukan dengan celana training panjang.
Maura memutuskan kontak pandang keduanya, lalu menggendong Stev yang masih menggunakan baju seragam, "Terimakasih, Bu Ningsih sudah menjaga Stev. Kalau begitu saya dan Stev pamit untuk pulang sekarang," tutur Maura tanpa menghiraukan Arvie yang menatapnya sedikit kecewa.
"Tunggu, Maura. Mari kita makan malam dulu, saya sudah memasak banyak," ucap Bu Ningsih mencegah kepergiannya. Maura nampak hendak menolak namun sosok kecil digendongannya kini malah menganggukkan kepala dengan semangat.
"Stev, kita tidak boleh merepotkan orang lain," tegur Maura halus, namun wanita tua diseberangnya malah menepuk pundaknya pelan.
"Tidak perlu sungkan, kamu baru pulang kerja pasti lelah. Makanlah dulu bersama kami, baru setelahnya kalian boleh pulang. Ini bukan permintaan, tapi perintah," ucap Bu Ningsih mutlak yang telah berjalan lebih dulu menuju ruang makan.
Maura mau tidak mau akhirnya menurut, ia menghela nafas dan menurunkan Stev yang memaksa ingin turun. Anak itu berlari kecil mengikuti langkah Bu Ningsih, meninggalkan Maura yang menggelengkan kepalanya pelan.
Namun, Stev yang sudah mencapai ruang makan nampak kesulitan menaiki kursinya. Berkali-kali kaki kecilnya berjinjit tapi tetap saja tidak sampai. Maura yang melihatnya dari jauh hendak berjalan membantu, sebelum dirasakannya sekelebat sosok tinggi berbau mint melewatinya.
Arvie tersenyum jahil, kemudian menarik jauh kursi milik Stev hingga anak itu merengek kesal.
"Kulci ini puna Stev!" ucap Stev sambil menepuk dudukan kursi tersebut. Arvie mengangguk dengan raut mengejek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Right There
Roman d'amourArvie Jonathan (23) mahasiswa populer prodi ilkom mendadak memiliki musuh di seberang rumahnya. Bukan tanpa sebab ia membenci anak laki-laki yang dijulukinya tuyul itu, selain karena pertemuan keduanya yang tidak bisa dibilang baik, Arvie juga tidak...