"Kuenya enak sekali. Kau beli di mana?"
Maura tersenyum tipis pada wanita muda yang kini tengah memakan lahap sepotong kue bolu buatan, ia menjawab santai, "Tidak. Aku membuatnya sendiri."
Kegiatan mengunyah Karin sontak terhenti, sebelah alisnya naik dengan pandangan menilai pada Maura, "Ah, seriously? aku tidak yakin."
Stev yang duduk di sampingnya melipat kedua tangan di dada, wajahnya merengut tak suka.
"Oh, ya. Kulihat kau dan anakmu lumayan dekat dengan Arvie. Sebenarnya apa hubungan kalian?" tanyanya dengan pandangan menuntut, bahkan kue Maura yang berada di tangannya diletakkan kembali di atas piring.
Maura tersenyum, tatapannya tak kalah tajam menatap wanita yang jelas-jelas lebih muda darinya itu.
"Bagaimana jika aku yang bertanya lebih dahulu; apa hubunganmu dengan Arvie? Bukannya apa-apa, aku hanya tidak bisa mengungkap hubungan kami bertiga pada sembarang orang. Kau mengerti'kan?"
Wanita itu menatap Maura dengan alis mengkerut tidak suka, "Aku Karin. Ibuku dan ibu Arvie telah saling mengenal sejak lama. Hubunganku dengan Arvie lebih dari sekedar teman. Kau puas?" Karin menyeringai menang.
Maura menatapnya datar, ia menggenggam tangan Stev erat, "Hubungan kami juga lebih dari sekedar teman."
Tepat ketika mulut lancangnya mengucapkan hal tersebut, Ibu Ningsih keluar dari arah dapur dengan nampan berisi minuman di tangannya.
"Ini, kalian minumlah dulu. Maura terima kasih banyak untuk kuenya. Kue buatanmu tak pernah gagal," ucap Bu Ningsih penuh senyum.
Maura sontak balas tersenyum seraya menggumamkan kata terima kasih. Karin memperhatikan interaksi tersebut seraya menyeruput tehnya pelan, kemudian menimpali, "Aku juga bisa membuat kue seperti ini, Bun. Kau mau kubuatkan juga lain kali?"
Bu NIngsih sedikit terkejut, "Benarkah? Wah, kau belajar banyak ya."
Karin mengulum senyum sambil melirik remeh pada Maura yang nampak bergeming sejak tadi. Stev yang melihat itu mencebik kesal, entahlah sejak kedatangannya beberapa menit lalu dengan memeluk Arvie lalu membawanya pergi memantik kekesalan bocah itu. Stev merasa wanita itu merebut Arvie darinya.
"Huu, pacti kuena tida enak!"
Maura sontak menoleh tajam pada Stev, membuat anak itu menunduk diam. Bu Ningsih terkekeh hingga akhirnya sosok Arvie yang telah mandi dan berpakaian santai turun dari tangganya, senyumnya terbit melihat keberadaan Stev serta Maura di ruang tamunya.
"Mommy, Stev mau pulang."
Arvie mengambil duduk di samping Stev lalu mencubit pipinya gemas, "Tumben pengen buru-buru pulang. Main dulu kuy sama Pipi? Main basket?" tanyanya sambil menyomot kue bolu buatan Maura di atas meja.
Stev menggeleng, ia merasa Maura meliriknya dalam diam, "Stev mau mandi, Pipi," cicitnya.
Bu Ningsih menatap Maura, "Baiklah, kalian boleh pulang. Terima kasih untuk kuenya."
Karin tersenyum sinis diam-diam, "Sayang sekali, kata ibuku seorang tamu dianggap tidak sopan jika langsung pergi begitu saja tanpa menghabiskan hidangan dari tuan rumah. Bukan begitu, Bun?"
Arvie sontak berhenti mengunyah, ia menatap Karin aneh. Begitu pun Bu Ningsih yang nampak tergagap menatap Maura yang terdiam kaku di tempat.
Maura mendecih dalam hati, sebenarnya ia malas meladeni tingkah kekanakkan seperti ini. Selain membuang waktunya, ia juga malas terjebak dalam drama picisan murahan.
Maura berdeham, dengan tenang diraihnya gelas berisi teh manis yang masih mengepulkan asap tipis milik Stev lalu meminumnya hingga tandas, kemudian dilanjutkan meminum teh dari gelasnya sendiri. Ketiga orang dewasa di ruangan itu menatapnya terkejut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Right There
RomanceArvie Jonathan (23) mahasiswa populer prodi ilkom mendadak memiliki musuh di seberang rumahnya. Bukan tanpa sebab ia membenci anak laki-laki yang dijulukinya tuyul itu, selain karena pertemuan keduanya yang tidak bisa dibilang baik, Arvie juga tidak...