[39] Usai

466 29 0
                                    

Maura berlari tergesa-gesa di sebuah lobi rumah sakit dengan raut wajah penuh kekhawatiran kentara. Air matanya telah habis selama perjalanan hingga menyisakan mata bulatnya yang membengkak pedih.

"Stefanus Adellio! Kumohon cepatlah!" Maura berdiri tidak sabar di hadapan seorang resepsionis, tatapannya bahkan meneliti pergerakan bibir suster di hadapannya sehingga ia dapat menebak nomor ruang rawat sang anak tanpa harus mendengar suster itu berbicara.

'Ruang VVIP nomor 3A lantai 5' batinnya terus mengucapkan kalimat tersebut berulang-ulang saat memasuki lift menuju lantai lima.

Begitu tiba, Maura tidak dikejutkan oleh keadaan koridor lantai rumah sakit ini yang nampak sepi karena memang ruangan ini hanya dihuni oleh orang-orang kalangan atas.

Cklek!

"Stev?" panggilan Maura terhenti kala tetranya menangkap sebuah punggung lebar yang terduduk di samping ranjang rawat sang putra. Ia tidak dapat melihat keberadaan Stev hingga kakinya hanya bisa membeku kaku.

Ia tidak mungkin salah kamar'kan?

"Apa kabar," ada jeda, "Adel?"

Dapat Maura rasakan dunianya mendadak berputar bak rollercoaster, kakinya melemah hingga tak mampu bergerak mundur. Bahkan ketika sosok pria tak diketahui itu memundurkan kursi seraya bangkit sambil menggulung lengan kemejanya, Maura seakan lupa caranya bernafas.

Suara dan panggilan khusus ini begitu serupa dengan masa lalunya yang kelam. Ia mulai bergetar di tempat, rasa takut berlomba-lomba menyergap tubuhnya dari segala sisi.

"Adel?" sosok itu bertanya kembali dengan tubuh yang berbalik sempurna menghadapnya. Sejenak Maura limbung, ia tidak siap kala wajah di depannya perlahan menjadi jelas dan memicu jemarinya terangkat untuk menarik helai rambutnya.

Sosok itu dengan sigap berlari menangkap tubuhnya yang hendak rubuh. Maura terisak tanpa suara, kedua matanya memerah pekat antara rasa takut, benci dan juga rindu.

"Kak Juan," bisiknya parau.

Mendengar suara Maura untuk pertama kali setelah sekian lama membuat pria bernama Juan itu sontak mendekapnya erat. Tak dipedulikannya rontaan Maura yang meminta untuk dilepaskan.

"Kumohon, aku kembali untuk kalian. Bisakah kau memberikanku kesempatan?" Juan mendongakkan wajah Maura dengan telunjuknya, ia memandang wajah syok di depannya penuh tekad.

'Kenapa kau tidak mencoba untuk menghadapi semuanya? Hadapilah rasa sakitmu.'

Suara Arini kembali terputar di otaknya, Maura sontak mengerjap beberapa kali lalu mendorong tubuh Juan. Ia berdiri tertatih kemudian melangkah menuju Stev yang terbaring dengan mata terpejam.

Ia akan melawan rasa sakitnya demi Stev.

Kalimat itulah yang menguatkan Maura hingga rasa sakit di kepalanya berkurang, kedua tangannya ia bawa untuk menangkup kedua pipi Stev yang sebelahnya dihiasi lebam keunguan. Tanpa bisa dicegah air matanya bergulir hangat, siapa sosok jahat yang berani melakukan hal ini pada putra kesayangannya?

"Adel, kumohon—" ucapan Juan terpotong begitu Maura menyorotnya tajam, "Kau'kah yang melakukan hal ini pada Stev-ku?" desisnya penuh amarah.

Juan sontak membelakak terkejut, ia berjalan mendekat hingga berada di samping Maura.

"Aku tidak akan pernah lupa bahwa dia adalah darah dagingku," ujarnya yakin lalu kembali melanjutkan, "Jadi mustahil bagiku untuk melukainya seinchi pun, Del. Kau tahu bagaimana diriku, bukan?"

Maura yang mendengarnya sontak membuang muka, "Lalu bisakah kau ceritakan apa yang sebenarnya terjadi?" tantangnya.

Juan mengangguk, ia memasukkan ponsel canggihnya ke dalam saku lalu mencengkram sisi ranjang Stev erat, "Pria pelayan café itu yang melakukannya."

Right ThereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang