Arvie memarkirkan motornya di halaman sebuah kost-an putra, bangkit lalu meletakkan—setengah membanting—helmnya ke atas motor. Wajahnya lesu dan tidak bersemangat namun kesal di satu waktu. Ia mengacak rambutnya kasar seraya menarik nafas berat.
Arvie merindukan Stev. Sangat. Tapi kata-kata Maura tempo hari terus terpantul di kepalanya, ucapan tajam wanita itu begitu berbekas hingga membuatnya mau tak mau mengambil langkah mundur.
Tidak, Arvie tidak pengecut. Ia bisa saja menghampiri Stev, merengkuh Maura lalu menghajar pria sialan sok kaya itu hingga sekarat. Namun, Arvie tidak ingin membuat orang yang tanpa sadar telah dicintainya begitu dalam itu bersedih. Ia mencoba menghormati perintah wanita itu dengan tetap berada di batasnya, walau rasanya menyakitkan.
Cklek!
"Wah, pengangguran dateng nih, Van," celetuk Zidan begitu Arvie berhasil menutup pintu. Sontak saja lemparan jaket menyapa wajahnya telak, memicu ringisan dari mulut Revan.
Pria yang sedikit lebih waras dari Zidan itu menilai wajah Arvie yang nampak tidak baik-baik saja, ada bekas luka yang telah mengering di beberapa sisi wajahnya, apalagi lingkaran hitam samar di bawah mata yang turut menambah kesan suram.
"Nih, minum," Revan menyodorkan sebotol air mineral yang dibelinya pada Arvie, pemuda yang baru saja duduk di sampingnya.
"Thanks," sahutnya singkat.
Tanpa mengatakan apapun, Arvie meletakkan seplastik penuh cemilan di depannya, membiarkan Zidan mulai bergerak menjarahnya bak gelandangan kelaparan. Setelah meneguk setengah air dari botol, Arvie lantas mengikat rambutnya lalu memundurkan tubuh hingga bersandar pada kasur busa milik Zidan.
Perlahan memejamkan mata erat dengan tangan yang terlipat menyangga kepala, mengabaikan tatapan penuh tanya dari dua orang manusia di depannya. Zidan yang tengah mengunyah kripik keju lantas dengan berani menyenggol kaki Arvie kuat.
"Ck, itu abisin aja dulu nanti gue traktir lagi," gumam Arvie tanpa membuka matanya.
Sebuah kripik lantas melayang mengenai pipinya, Zidan berdecak, "Bukan begitu maksud gue, nyet. Lagian lo kenapa sih kayak cewek aja, cerita sini kenapa kok lo bisa dipecat sama om gue."
Revan sontak membola kaget, ia tidak bertanya namun memajukan tubuh serta siap memasang telinga dengan wajah serius.
Arvie menghela nafas panjang diikuti mengusap wajahnya kasar, walau agak sedikit nyeri sebab beberapa lebam yang belum sembuh total.
"Gue abis berantem sama orang."
Zidan menghentikan kunyahannya, mengerjap beberapa kali, "Lah, gara-gara apa?"
Arvie mendengus, "Gara-gara gue jemput Stev, gue gak tau kalau dia itu bapak kandungnya Stev. Lagian dia juga main ngehajar aja, anjing! Pake nuduh gue penculik juga, ya gue baleslah!" ucapnya menggebu-gebu.
Revan nampak diam mencerna, "Bentar, jadi lo udah di tahap antar jemput anak janda yang lo suka itu?" tanyanya speechless.
Arvie mengangguk spontan.
"Jir-lah fuck kata gue teh," Zidan menimpali sambil geleng-geleng kepala.
"Ngegas sih ngegas tapi liat sikon, apalagi itu anak masih punya bapak kandung main lo jadiin hak milik aja," Revan menjeda, "Kata orang kalo mau serius itu liat dulu babat-bibit-bobotnya, Vie."
Zidan mengangguki ucapan Revan, "Terus gimana?"
"Ya gue mana tau kalo ternyata bapaknya Stev masih hidup, terakhir kali itu bocah bilang gak punya bapak. Gue juga gak pernah liat bapaknya nampakin diri di sekitar Stev sama ibunya," Arvie mendengus, "Mana kayaknya dia juga dari kalangan berduit, jadi polisi manut aja bawa gue ke penjara."
![](https://img.wattpad.com/cover/345037055-288-k792424.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Right There
RomanceArvie Jonathan (23) mahasiswa populer prodi ilkom mendadak memiliki musuh di seberang rumahnya. Bukan tanpa sebab ia membenci anak laki-laki yang dijulukinya tuyul itu, selain karena pertemuan keduanya yang tidak bisa dibilang baik, Arvie juga tidak...