Stev bangkit dari sofa empuk yang didudukinya ketika suara pintu yang dibuka kasar berhasil mengejutkan semua orang. Mata bulatnya terbuka lebar saat menangkap perawakan gagah seorang pria yang mendekat ke arahnya dengan langkah tergesa. Bibir kecilnya mulai mencebik menahan tangis.
"PIPI!"
"STEV!"
Arvie merengkuh tubuh tanggung Stev ke dalam pelukannya. Ia tidak bisa menahan tangisannya sendiri ketika Stev mulai terisak lebih keras. Kedua tangan anak itu melingkar erat di balik punggungnya, seolah tak membiarkan Arvie bergerak pergi barang sejengkal pun.
"Tuyul minion Pipi sudah besar," ujar Arvie serak. Dadanya berdebar menyenangkan ketika ia bisa kembali memanggil dirinya sebagai Pipi.
"Pipi, hiks. I miss you so bad!" Tubuh Stev bergetar dengan nafas memburu, "Stev takut kita tidak bisa bertemu lagi Pipi," sambungnya sedih.
Arvie merenggangkan sedikit pelukan keduanya, nafasnya berubah lega, jemari besarnya bergerak mengusap kedua pipi Stev yang basah. Ia terharu melihat bagaimana bocah yang dulu hanya setinggi lututnya kini naik hingga sebatas perutnya. Wajah itu masih imut seperti dulu hanya saja lemak bayi di kedua pipinya telah sedikit berkurang. Anak itu masih sedikit cadel dengan aksen bahasa Indonesia yang lucu.
"Pipi tidak akan membiarkan kita berpisah lagi Stev. Tenang saja."
Stev mengangguk kecil, kembali memeluknya erat bak perangko, kali ini tangannya menggelayut pada leher Arvie lalu meraba rambut belakangnya.
"Rambut Pipi tidak panjang lagi," ungkapnya. Arvie hanya tersenyum sambil mengecup gemas rambut Stev, "Rambut Stev juga sudah tidak wangi melon lagi."
Keduanya tertawa ringan meski sedikit terisak. Diam-diam dua orang dewasa yang memperhatikan insteraksi keduanya sejak tadi ikut tersenyum haru.
"Stev, mommy mana?" Arvie bertanya sambil melirik sekitar, ia juga menatap wajah kedua orang tuanya penasaran.
"Uhm, mommy—" ucapan Stev terpotong kala Jonathan merangkulnya hangat dan berucap serius, "Maura ada di taman belakang, Vie. Dia sudah menunggumu sejak tadi."
Tanpa menunggu lama, ia pun bangkit setelah melayangkan kecupan singkat di kening Stev. Seperti perkataan sang ayah, Arvie berjalan tak sabar menghampiri taman belakang rumahnya yang luas.
Kedua matanya berbinar takjub saat menangkap siluet cantik yang berdiri membelakanginya. Dia yang indah diterpa sinar rembulan. Bercahaya serupa bidadari. Jantungnya kembali berisik, membuatnya gugup setengah mati.
"Kak," panggilnya pelan.
Namun suasana malam yang tenang membuat ucapannya terdengar jelas disela-sela gemerisik dedaunan.
Perlahan sosok cantik itu berbalik, di tangannya sebuah gantungan kunci kartun minion pemberiannya di masa lalu bergelayut, mata bulat itu menatapnya dalam penuh kerinduan. Ada jejak air mata di pipinya, namun bibir itu terus menyunggingkan senyum teduh.
"Kak," Arvie merangsek maju tetapi Maura langsung mengangkat sebelah tangannya. Menggeleng pelan, mencegahnya bergerak lebih jauh. Senyum di wajah Arvie sontak memudar.
"Sebelum kau bergerak lebih jauh. Aku ingin memberitahumu sesuatu."
Maura melangkah pelan mendekati Arvie, sedikit terkesima akan penampilan pemuda itu yang jauh berbeda dari sebelumnya. Lebih dewasa, segar dan berwibawa.
"Umurku sekarang tiga puluh lima tahun," ucap Maura dengan mata memerah.
Arvie bergeming.
"Aku juga seorang janda dengan satu anak."
![](https://img.wattpad.com/cover/345037055-288-k792424.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Right There
RomanceArvie Jonathan (23) mahasiswa populer prodi ilkom mendadak memiliki musuh di seberang rumahnya. Bukan tanpa sebab ia membenci anak laki-laki yang dijulukinya tuyul itu, selain karena pertemuan keduanya yang tidak bisa dibilang baik, Arvie juga tidak...