Mobil milik Maura terhenti tepat di depan gerbang rumahnya yang terkunci. Dengan cepat dibukanya gerbang tersebut lalu memarkirkan mobilnya di garasi. Sambil mengikat asal rambutnya, ia terburu-buru mendatangi bangunan besar di seberang rumahnya. Ia takut sang putra tertidur di rumah tersebut mengingat kunci gerbang berada di tangannya.
Maura menekan bel dua kali, tangannya bergerak merapikan poni di keningnya dengan harap-harap cemas.
Pintu pun terbuka menampilkan Bu Ningsih dengan senyum ramah, "Maura, kau baru pulang? Ayo masuk, Stev sepertinya tertidur di kamar Arvie."
Maura tersenyum sungkan lalu menggeleng pelan, "Tidak perlu, Bu. Saya tunggu di sini saja. Maaf merepotkan."
"Haish, tidak perlu sungkan. Ya sudah ibu bangunkan dulu, ya?"
Maura mengangguk, ia memutuskan untuk mendaratkan tubuhnya sejenak di sebuah kursi rotan di sampingnya. Mengingat tak hanya keluarga Arvie yang berada di rumah tersebut membuat dirinya berusaha untuk tahu diri. Ia tidak ingin terlalu banyak merepotkan dan mengganggu orang lain.
"Kenapa tidak masuk? Di luar dingin."
Maura tersentak begitu suara bass serak khas seseorang yang baru bangun tidur terdengar di sampingnya. Arvie dengan rambut semrawut nampak menggosok kedua matanya, tak lupa di gendongan pemuda itu sosok mungil yang dicarinya tengah terlelap pulas.
"Tidak apa. Aku akan langsung pulang," jawab Maura setelah beberapa saat terpesona pada wajah bantal Arvie yang sialnya terlihat seksi.
Arvie menyipitkan mata lantas menyerahkan Stev pada Maura. Ia mengantarkan keduanya hingga pintu gerbang.
"Terima kasih untuk hari ini," ucap Maura tanpa menatap sosok yang lebih muda. Ia hendak beranjak pergi saat tangan Arvie tiba-tiba terulur mencengkram pergelangan tangannya.
"Aku serius saat bertanya apa kau baik-baik saja," Arvie membuka suara, ia memperhatikan punggung wanita yang kini membelakanginya dengan seksama.
Maura menarik nafasnya kuat, "Aku baik-baik saja."
"Apa karena Karin?"
Arvie tidak melewatkan momen saat tubuh ramping di depannya menegang begitu ia menyebutkan satu nama tersebut.
"Kau ini bicara apa? Aku baik-baik saja," hibur Maura dengan kekehan pahit.
Arvie menggeleng tak percaya, ia semakin mengeratkan cengkeraman tangannya pada Maura. Anggap saja kali ini keberanian dan kepercayaan dirinya tengah berada di puncak tertinggi.
"Stev berkata bahwa kau sempat membuatkanku bekal, tetapi tidak jadi kau berikan karena aku tengah bersama Karin. Apa itu benar?" tanya Arvie penasaran.
Di depan sana Maura nampak menggigit bibir bawahnya kuat, ia melirik sang putra di gendongannya dengan raut sedikit panik. Berusaha menetralkan detak jantungnya yang menggila, Maura sontak melepaskan cengkraman Arvie lalu berbalik menatap wajah pemuda itu.
Kedua mata bulat nan sayunya memandang Arvie dalam-dalam.
"Kau pernah mengatakan bahwa aku dan Stev adalah sosok spesial di hidupmu," Maura menjeda, ia menelisik tatapan Arvie yang kini mengujamnya penuh keseriusan. Nafasnya memburu, "Apa kami sama spesialnya dengan perempuan bernama Karin itu?"
Arvie mengerjapkan matanya beberapa kali, ia terpana pada wajah ayu yang terkena pantulan cahaya bulan di hadapannya serta terpana pada ucapan yang terlontar dari bibir tersebut. Mati-matian ia menahan rasa menggelitik di dada yang memaksa bibirnya untuk mengulas senyum.
"Kau cemburu?"
Bak disiram air dingin, Maura sontak membelakak terkejut. Kedua matanya menatap ke segala arah dengan belah bibir yang sedikit terbuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Right There
RomanceArvie Jonathan (23) mahasiswa populer prodi ilkom mendadak memiliki musuh di seberang rumahnya. Bukan tanpa sebab ia membenci anak laki-laki yang dijulukinya tuyul itu, selain karena pertemuan keduanya yang tidak bisa dibilang baik, Arvie juga tidak...