Hidup Maura perlahan mulai dipenuhi warna yang berbeda. Jika dahulu kehadiran Stev mampu mengubah badai di hidupnya menjadi musim semi yang indah, maka kehadiran Arvie membuat pelangi cantik menghiasi langit biru hatinya.
Meski takut dan malu, ia sedikit demi sedikit mulai menuruti perkataan Kevin beberapa waktu lalu. Hati kecil yang sebelumnya ia ikat kuat-kuat di dalam penjara trauma, kini dibiarkannya memiliki sedikit celah.
Maura tak mau berharap, ia hanya ingin menikmati masa-masa manis ini selama yang ia bisa. Jika suatu saat nanti, takdir mengatakan bahwa dirinya harus berpisah dengan Arvie, maka Maura tak akan keras kepala.
Ia masih sadar diri, dirinya terlalu tua dan rusak untuk seorang pria baik-baik seperti Arvie.
"Biar aku saja. Kau sarapanlah."
Lamunan Maura buyar tatkala spons berbusa di tangannya telah berpindah tangan pada sosok di sampingnya. Ia mengerjap lambat.
"Tidak perlu. Kau duduk saja."
Arvie mendelik lucu, "Sa-ra-pan," tekannya lagi.
Maura menahan senyum, "Aku tidak terbiasa sarapan, Vie."
"Maksudmu?"
"Aku terbiasa makan di jam sepuluh ke atas. Tidak pada waktu pagi hari seperti ini."
Arvie membilas piring-piring di wastafel yang langsung dibawa oleh tangan Maura untuk dikeringkan dan diletakkan pada rak di sampingnya.
"Itu kebiasaan buruk. Kau bisa terkena maagh," ucap Arvie serius dengan tetap fokus mencuci piring.
Maura terkekeh pelan, ia melirik sisi wajah Arvie yang sejak tadi menarik atensinya; rambut sebahu terikat setengah dengan beberapa helai rambut serupa poni yang menjuntai bebas di kedua sisi wajah.
Maura refleks menurunkan pandangan ketika detak jantungnya mulai berpacu kencang. Dengan gugup tangan lentiknya bergerak kembali mengeringkan piring seolah tak terjadi apa-apa.
Namun kedua matanya tak bisa dikendalikan lagi saat ia kembali melirik ke samping. Niat hati ingin menatap sisi wajah Arvie yang sedang tampan-tampannya, Maura justru terhenyak menemukan Arvie yang tengah balik menatapnya geli.
Senyum di bibir pria itu perlahan menular padanya dan menciptakan atmosfer hangat merah jambu.
Maura berdeham, "Ada busa di hidungmu."
Arvie tersentak, ia hendak menyeka busa tersebut dengan bahunya namun segera ditahan oleh Maura. Wanita itu nampak mengerut tak setuju hingga ibu jarinya perlahan bergerak menyeka busa di hidung Arvie.
"Nah, busanya sudah hilang."
Maura berujar ringan tanpa tahu rasa terbakar berlomba-lomba merayap pada wajah pria di sampingnya. Arvie ingin lagi, ia ingin tangan lembut itu menyentuh kulit wajahnya lagi. Maka dengan nekat tanpa sepengetahuan Maura, ia menggosokkan seluruh wajahnya dengan spons tersebut hingga kini busa putih hampir menutupi penglihatannya.
"Ayo kita bersi—" ucapan Maura tertelan lagi ketika menangkap kondisi wajah Arvie. Ia terperangah syok sebelum akhirnya meledakkan tawa. Tubuh ramping itu bergetar dengan wajah merah padam sambil terus menggeleng tak habis pikir.
"Apa? apa yang kau lakukan?!"
Maura bertanya geli seraya menyeka ujung matanya yang berair. Arvie yang menyadari kebodohannya itu malah ikut tertawa bersama. Diam-diam, dirinya takjub pada tawa merdu wanita itu yang sialnya membuat jantungnya bergemuruh berkali lipat. Ini kali pertama Maura tertawa selepas ini di hadapannya dan ia bangga saat tahu bahwa alasan dari tawanya adalah dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Right There
RomanceArvie Jonathan (23) mahasiswa populer prodi ilkom mendadak memiliki musuh di seberang rumahnya. Bukan tanpa sebab ia membenci anak laki-laki yang dijulukinya tuyul itu, selain karena pertemuan keduanya yang tidak bisa dibilang baik, Arvie juga tidak...