Tok! Tok!
"Pagi, Ibu Muda yang tengah jatuh cinta."
Kevin tersenyum seraya membetulkan letak kacamatanya, ia menutup pintu kemudian menghampiri Maura dengan segelas kopi di tangan. Namun keningnya mengerut kala mendapati Maura yang tak bereaksi sama sekali di kursinya. Wanita itu nampak fokus menatap layar komputer dengan pandangan kosong.
"Ra?"
Ia berinisiatif menepuk lengan Maura hingga sang empu tangan akhirnya tersentak dan mengerjap kaget.
"Ah, kukira siapa. Biasakan untuk mengetuk pintu lebih dulu," keluhnya yang langsung dibalas Kevin dengan tatapan sangsi, "Aku sudah mengetuknya, tapi hal itu akan percuma jika penghuninya sibuk melamun."
Maura meringis pelan seraya menyugar rambutnya. Kevin memerhatikan raut wajah wanita di depannya dengan prihatin.
"Apa dia masih menghubungimu?" tanyanya hati-hati.
Maura yang mengetahui arah pembicaraan pria di hadapannya hanya mampu tersenyum kecut, nafasnya memburu, ia menggigit bibir bawahnya kuat lalu mengangguk patah-patah. Hal itu sontak membuat Kevin tercenung, ia berusaha merebut ponsel yang berada tak jauh dari tangan wanita itu tetapi Maura menahannya.
"Kenapa, Ra? Aku benar-benar akan menghajar bajingan satu itu jika berani mendekatimu dan Stev! Berikan ponselmu!" seru Kevin berapi-api.
Maura menggenggam ponselnya erat, ia menggeleng pelan dengan tatapan sendu. Kevin mendengus keras, "Pria itu yang membuatmu mengalami trauma hingga harus menjalani hidup yang seperti ini, Ra. Kenapa kau masih ingin membiarkan dia kembali?"
Mendengarnya membuat Maura mendelik tajam, kedua matanya memerah, "Lantas, apa aku harus egois?" tanyanya parau.
Kevin menggeleng tak habis pikir, "Egois apa maksudmu?"
"Aku tidak akan egois, Vin! Hanya karena pria itu membuatku memiliki trauma, bukan berarti aku harus memisahkan seorang ayah dari anaknya. Stev akan bertambah besar, cepat atau lambat dia harus mengetahui siapa ayahnya," ungkap Maura sesak, air matanya bergerumul, "Sakit hatiku tidak akan ada artinya dengan kebahagiaan Stev."
Kevin sontak mengusap wajahnya kasar, ia menatap wanita rapuh di hadapannya lamat-lamat, "Lalu, bagaimana dengan Arvie? Stev sudah terbiasa bersama dengan Arvie, kau tahu itu."
Maura menunduk dalam, ia menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Perlahan isakan kecilnya terdengar pilu menghiasi ruangan.
"Ini semua salahku. Sejak awal seharusnya tidak kubiarkan Stev menemukan figur ayah dari pria selain ayah kandungnya. Nanti, jika ayah kandung Stev memang serius untuk kembali ke sini dan bersedia menerima Stev maka aku tidak akan menghalanginya."
Bahu Kevin melemas, "Bagaimana dengan hatimu?" Maura menyeka air matanya dan tersenyum getir, "Hatiku? Hatiku akan tetap mati seperti ini, Vin. Aku tidak berniat untuk menerima dia kembali di hidupku, semua ini kulakukan hanya untuk Stev, dan,"
Ia menelan salivanya susah payah, "Aku juga tidak berniat untuk menerima Arvie. Rasa yang ada saat ini hanyalah perasaan sesaat tak lama lagi akan hilang."
Pria berkacamata itu menggeleng pelan, ia menatap Maura iba bercampur kecewa. Jemari panjangnya nampak mengusap bahu Maura pelan untuk menguatkannya. Ia tidak akan bisa ikut campur jika wanita ini sudah membuat keputusan.
"Aku mengerti. Semoga ini keputusan yang terbaik," ujar Kevin lalu menyodorkan kopi hangat yang kini sedikit mendingin pada sisi meja Maura.
'dan semoga keputusan ini bisa diterima oleh Arvie-mu,' sambungnya dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Right There
RomanceArvie Jonathan (23) mahasiswa populer prodi ilkom mendadak memiliki musuh di seberang rumahnya. Bukan tanpa sebab ia membenci anak laki-laki yang dijulukinya tuyul itu, selain karena pertemuan keduanya yang tidak bisa dibilang baik, Arvie juga tidak...