Maura memutuskan untuk tinggal sementara di rumah sang ayah. Ia membantu mbok Sri beserta perawat yang setiap hari melakukan check up selama masa penyembuhan sang ayah.
"Adel."
Maura tersadar dari lamunannya, ia terburu-buru menyodorkan kembali sesuap bubur pada sang ayah. Stev sedang bermain bersama Juan, syukurnya anak itu tidak rewel sama sekali.
Edwin menggeleng pelan menolak suapannya, "Papa sudah kenyang."
"Oh, baiklah. Kenapa papa memanggilku?" tanya Maura seraya membantu sang ayah untuk minum.
"Apa ada yang mengganggu pikiranmu?"
Maura terdiam. Ia menghela nafas lalu tersenyum tipis, "Tidak ada."
Edwin tersenyum penuh arti seraya meraih kedua tangannya untuk ia genggam hangat, "Apa ini tentang Juan?"
Maura sontak terkejut, "Papa tahu?"
"Aku mengetahui segala hal tentang anak-anakku," tandas sang ayah lalu melanjutkan, "Juan sudah mengatakan segalanya pada Papa."
Maura mengangguk pelan, "Adel hanya bingung. Semua ini terasa terlalu cepat. Adel belum siap untuk pergi jauh dari papa."
Edwin terkekeh, "Kata siapa kita akan berjauhan? Begitu kondisi papa membaik, papa akan rajin menemuimu di Kanada. Kau tidak perlu khawatir. Apa Damara mengatakan sesuatu yang buruk padamu?"
Maura menatap wajah cemas sang ayah lalu tersenyum lembut, "Tidak. Dia hanya belum bisa menerimaku lagi di sini."
Cengkraman sang ayah pada tangannya mengerat, "Papa akan mengajaknya bicara nanti. Tapi," ia berhenti sejenak, "Papa rasa bukan papa alasanmu belum siap untuk pergi bersama Juan."
Mendengarnya membuat Maura diam-diam mengalihkan pandangan ke sekeliling taman. Papanya itu seperti cenayang. Maura lantas menarik pelan tangannya dari pangkuan sang ayah di atas kursi roda, tak mampu lagi bersuara dan hal itu ditangkap baik oleh Edwin.
"Selesaikan dulu masalahmu, Adel. Selesaikan hingga kau yakin akan pilihanmu. Apapun keputusanmu nanti, Papa akan selalu berada di pihakmu."
*
Maura tengah merapikan kamar tidur sang ayah saat ponsel di saku celananya bergetar. Jantungnya berdegup, apa mungkin itu dari Arvie? Namun tebakannya salah saat menemukan nama Kevin yang terpampang jelas di layar ponselnya.
"Hallo, Vin?"
"Ra, bisa kita bertemu secepatnya?"
Maura mengeryit mendengar nada cemas dari suara Kevin. Mengapa tiba-tiba sekali?
"Ada apa? Apa terjadi sesuatu, Vin?"
"Tidak. Kalau begitu datanglah ke apartemenku. Ada yang harus aku katakan padamu tentang rahasia Juan."
Mendengar nama sang kakak tiri terucap sontak membuat jantung Maura berdetak lebih cepat, "Baiklah. Aku berangkat sebentar lagi."
Sambungan pun terputus. Maura terdiam sejenak, bertanya-tanya apa maksud Kevin tentang rahasia Juan? Apa yang pria itu rahasiakan? Tak mau ambil pusing, Maura sontak bergegas untuk bersiap. Untungnya semua barang-barangnya dan Stev yang berada di dalam hotel telah dipindahkan oleh anak buah Juan kemarin malam.
Maura tidak menyadari bahwa ada sosok lain yang sejak tadi berdiri dan menguping pembicaraannya dengan Kevin di balik pintu.
*
"Iya, kak. Tolong jaga Stev sebentar. Aku memiliki urusan mendadak."
Maura memarkirkan mobilnya seraya melepaskan seatbelt, "Stev memang senang bermain bola basket. Baiklah, nanti akan kutelpon balik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Right There
RomanceArvie Jonathan (23) mahasiswa populer prodi ilkom mendadak memiliki musuh di seberang rumahnya. Bukan tanpa sebab ia membenci anak laki-laki yang dijulukinya tuyul itu, selain karena pertemuan keduanya yang tidak bisa dibilang baik, Arvie juga tidak...