"Tenang saja. Ini hanya luka kecil lagipula sudah diobati. Aku pergi sekarang, selamat malam."
Usai mengantarkan Juan hingga pria tampan itu dijemput oleh sebuah mobil alphard, Maura menutup gerbangnya dengan nafas berat. Sejenak ia mendongak pada jendela kamar lantai dua yang berada di seberangnya. Kamar Arvie. Lampu kamar pemuda itu masih nampak menyala, entah empunya sudah pulang atau belum.
Maura lantas berbalik menuju Stev yang kini tertidur di atas karpet bulu usai kelelahan mengunyah kue mewah super besar yang dibawa Juan. Ia melirik jam dinding sekilas lalu mulai membenahi segala kekacauan.
Cukup lama Maura berkutat dengan kegiatannya hingga akhirnya tubuh lelah itu menghampiri Stev yang sebelumnya ia pindahkan ke atas sofa.
"Stev, bangun nak. Sikat gigi lalu pindah tidur di kamarmu," Maura mengusap rambut Stev halus kemudian meraba sebelah pipinya yang lebam. Anaknya itu tidak mengeluh banyak selayaknya anak-anak lain, Stev adalah sosok kuat sama sepertinya. Ia selalu bertingkah baik-baik saja.
"Mommy, Daddy cudah pulang?" Stev bertanya serak. Maura tersadar, ia lantas mengangguk singkat, "Sudah, sayang. Stev mau mommy kompres lagi pipinya? Masih sakit tidak?"
Stev menggeleng kecil, kedua mata bulatnya memancarkan keteduhan, terkadang Maura sedikit bersyukur pada Tuhan sebab Stev hampir mewarisi seluruh wajahnya. Ia jadi seperti tengah bercermin tetapi dalam bentuknya yang lebih kecil serta dalam versi laki-laki.
"Mommy, Stev mau Pipi," lirihnya takut-takut.
Maura menggenggam tangan Stev erat, "Kenapa? Stev tidak marah karena Pipi sudah membuat Stev sakit?"
Gelengan kuat dari sang putra mengejutkannya, "Pipi tida cengaja, Mommy! Pipi belantem cama Daddy kalna Stev bilang kalo Stev tida puna Daddy. Mommy janan malah pada Pipi-na?" Stev memandangnya harap-harap cemas.
Maura menggeleng pelan, "Lepaskan Pipi, ya? Sekarang'kan Stev sudah punya Daddy?"
Mendengar hal itu sontak membuat Stev muram, kedua matanya berkaca-kaca, "No, mommy! Stev mau Pipi caja tida mau Daddy," sahutnya keras kepala.
"Itu karena Stev belum terbiasa saja bersama Daddy, seiring berjalannya waktu Stev pasti bisa melupakan Pipi. Ya, sayang?"
"Tida mau!"
Maura melengos begitu Stev berlari kecil meninggalkannya, anak itu berlari menaiki tangga lalu menutup pintu kamarnya rapat. Ia menghela nafas berat sembari menyugar rambutnya frustasi, semua ini membuatnya sakit kepala.
*
Di sisi lain, Arvie terdiam tak berkutik saat tatapan tajam sang ayah menyorotnya tajam bak mengulitinya hidup-hidup. Di sampingnya berada sang ibu yang memalingkan wajah kecewa.
"Kau ini bodoh atau memang tidak waras?" pancing sang kepala keluarga.
Arvie hening, ia baru saja hendak ke kamar usai memeluk Karin ketika pintu rumahnya terbuka menampilkan kehadiran kedua orang tuanya yang baru saja pulang entah dari mana. Sehingga di sinilah ia berada, duduk di ruang keluarga yang mendadak menganggapnya sebagai terdakwa usai bibirnya menjelaskan seluruh rahasianya.
"Ayah sudah pernah mengatakannya padamu, jangan berurusan dengan wanita itu, Arvie! Tapi kau tetap bertindak gila! Apa kau mencintainya lalu bermimpi ingin jadi ayah sambung bagi anaknya? Memangnya apa yang kau punya!" serunya.
Arvie mengepalkan kedua tangannya erat, "Memang apa salahnya?"
"Kau masih bertanya? Kuliahmu belum selesai! Kau berani berbohong pada kami demi bisa bekerja untuk wanita dan anaknya yang lebih kaya darimu? Kau belum tau asal-usul mereka tetapi sudah berani bertindak di luar batas!" nada bicara pria setengah baya itu naik satu oktaf.
KAMU SEDANG MEMBACA
Right There
RomanceArvie Jonathan (23) mahasiswa populer prodi ilkom mendadak memiliki musuh di seberang rumahnya. Bukan tanpa sebab ia membenci anak laki-laki yang dijulukinya tuyul itu, selain karena pertemuan keduanya yang tidak bisa dibilang baik, Arvie juga tidak...