Arvie memasuki kamar kostnya setelah membanting pintu dengan keras. Wajahnya murung dan tidak bersahabat. Hal itu ditangkap baik oleh dua orang pemuda yang sejak tadi asyik bermain game online di kamar kostnya.
Melihat aura kematian yang menguar dari tubuh Arvie sontak membuat keduanya berhenti tertawa lalu terdiam kaku.
Zidan berdeham setelah hening sekian lama, "Gimana, Vie? Rencana kita berhasil'kan?"
Arvie mendelik tajam, ia melepas outer abunya lalu membantingnya ke lantai, "Kenapa ada Grace?" tanyanya berusaha tenang.
Zidan melirik Revan gelagapan, "Ya, biar rencana kita lebih berhasil, Vie. Lagian orangnya mau kok diajak kerja sama. Elo juga setuju'kan buat bikin Kak Maura cemburu? Jadi dia gak bisa seenaknya mainin perasaan lo."
Wajah Arvie memerah menahan amarah, "Elo gak ada bilang bakal ajak Grace, anjing!"
Dengan gerakan secepat kilat Arvie bangkit lalu menarik kaus bagian depan milik Zidan hingga empunya sedikit berjinjit dengan wajah pucat pasi, "Gara-gara rencana lo gue harus liat dia nangis. Dia nangis depan gue, bangsat!" ucapnya lantang.
Revan sontak bangkit lalu berusaha melerai keduanya, "Vie, kontrol emosi lo!"
Arvie melepas cengkramannya lalu mendorong Zidan hingga mundur beberapa langkah. Kepalanya tertunduk lesu, "Gue gak peduli kalau dia selama ini cuma manfaatin gue, mainin perasaan gue, atau cuma jadiin gue tempat singgah sementara. Asal dia bahagia, asal gue gak liat dia sedih apalagi nangis kayak tadi," Arvie mengusap wajahnya kasar dengan mata memerah, "Gue rela jadi pria paling bodoh di dunia asal Kak Maura selalu bahagia," pungkasnya serak.
Revan dan Zidan terdiam membisu, membiarkan salah satu sohibnya itu menjadi orang paling menyedihkan malam ini.
*
Alarm nyaring dari ponsel Arvie telah berbunyi nyaring sejak tadi. Namun pemiliknya tak bereaksi sama sekali selain memandang langit-langit kamarnya dalam diam. Revan dan Zidan telah pergi ke kampus satu jam yang lalu.
Semalam penuh Arvie terjaga tanpa kantuk, bayang-bayang wajah sembap dan suara serak dari Maura menghantuinya. Bagaimana wanita cantik itu memandangnya penuh luka lalu pergi setelah memberinya pesan yang ambigu.
Arvie mengangkat ponsel yang sejak semalam digenggamnya, mematikan alarm, ia mengernyit menemukan Maura tidak menelponnya sama sekali. Padahal sebelumnya Arvie telah mengatakan jika Maura butuh untuk menelponnya, ia akan selalu ada di sana.
Tok. Tok. Tok.
Arvie mengalihkan pandangannya pada daun pintu kamarnya yang baru saja diketuk kencang. Itu tidak mungkin dari Zidan apalagi Revan, dua iblis itu akan langsung berteriak setengah mendobrak pintu jika bertandang ke tempatnya.
Dengan malas, Arvie bangkit dari baringannya sambil sesekali meringis merasakan kepalanya berdenyut sakit.
Cklek.
"Siapa," Arvie sedikit terkejut menemukan sosok pria berkacamata yang berdiri di depannya. Tubuh pria itu terbalut kemeja dan celana formal, namun wajahnya begitu pucat.
Arvie seperti pernah melihatnya, namun ia tidak mengingat nama pria itu sama sekali.
"Halo, Arvie. Saya Kevin, teman dekat Maura."
Ah, ya. Arvie sekarang mengingatnya. Pria inilah yang sempat membuatnya cemburu sebab kedekatannya dengan Maura dan Stev. Namun pertanyaannya, mengapa pria ini ada di depan kamar kost-nya?
"Udah tau. Ada apa?" tanya Arvie sok dingin.
Kevin menelan salivanya susah payah, "Saya harus menyampaikan sesuatu tentang Maura. Tetapi sebelumnya saya siap jika anda akan menghajar saya setelah mendengar semuanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Right There
RomantikArvie Jonathan (23) mahasiswa populer prodi ilkom mendadak memiliki musuh di seberang rumahnya. Bukan tanpa sebab ia membenci anak laki-laki yang dijulukinya tuyul itu, selain karena pertemuan keduanya yang tidak bisa dibilang baik, Arvie juga tidak...