Maura memandang gerbang hitam menjulang tinggi di depannya dengan dada sesak, di baliknya sebuah bangunan rumah megah berdiri kokoh. Bangunan yang telah berdiri selama bertahun-tahun dan menjadi saksi bisu kehidupannya di masa lalu. Sebelum peristiwa itu terjadi dan membuatnya mau tidak mau angkat kaki dengan membawa serta rasa sakitnya seorang diri.
"Adel," Maura tersadar saat Juan memanggilnya dari samping. Pria itu menatapnya ragu, "Kau serius? Kita bisa ke sini lain kali, aku masih punya waktu empat hari lagi."
Maura mengerjap pelan, lalu melirik Stev yang terlelap di kursi belakang.
"Kak, aku mohon tetaplah di mobil bersama Stev."
Juan terkejut, mulutnya terbuka hendak menolak namun melihat bagaimana kedua mata Maura menatapnya penuh harap, ia pun menghela nafas panjang, "Setidaknya biarkan aku menunggu di pelataran rumah."
Setelahnya Juan membunyikan klakson yang langsung disambut oleh seorang satpam, pria itu tergopoh-gopoh membuka gerbang kemudian menunduk hormat begitu wajah Juan menyembul di balik kaca mobil. Namun wajah tuanya mendadak pucat saat menyadari keberadaan Maura di samping kursi kemudi.
Maura tersenyum getir sembari melepas seatbeltnya, kemudian menatap Juan serius, "Berjanjilah kau tidak akan turun jika aku tidak memanggilmu, kak."
Tanpa menunggu jawaban dari Juan, ia pun melangkah keluar mobil dengan raut tegar. Butuh beberapa langkah bagi Maura untuk tiba di pintu utama rumah tersebut. Jantungnya berpacu hebat seiring sekelebat kenangan terputar begitu saja di otaknya.
Dengan gugup Maura menekan bel di depannya sebanyak dua kali. Dapat ia rasakan telapak tangannya yang kian berkeringat.
"Lho, mbak Adel!"
Maura mencoba tersenyum saat seorang wanita tua setinggi bahunya berseru kaget dengan mata terbelakak lebar menatapnya. Sebenarnya ia ingin sekali memeluk sosok asisten rumah tangga yang telah ikut merawatnya sejak bayi itu erat-erat, namun entah mengapa tubuhnya justru mendadak kaku.
"Mbak, ayo masuk!" ajak Mbok Sri berkaca-kaca, ia hendak menarik lengan Maura saat suara tajam seorang wanita terdengar menginterupsinya dari dalam rumah.
"Siapa, mbok?!"
Maura ingat suara ini. Ditatapnya wajah Mbok Sri yang sedikit panik dengan tatapan teduh lalu mengangguk sembari berjalan tenang memasuki rumah.
"Kenapa diam saja, mbok. Siapa tamunya?"
Seorang wanita nampak duduk menyilangkan kaki di atas sofa dengan wajah tertutupi majalah. Maura tanpa sadar mendengus, ia melangkah semakin dekat hingga berdiri beberapa meter di depannya.
"Aku. Maura Adellia."
Bak tersambar petir, majalah di tangan wanita itu terlepas jatuh dari genggamannya, kini terpampanglah wajah seorang wanita paruh baya dengan makeup sempurna yang terkejut melihat keberadaan Maura.
"Wah, seorang tamu yang tidak pernah diundang datang kemari," celetuknya tajam.
Maura sedikit gemetar kala bersitatap dengan wajah wanita itu lagi, ibu tirinya.
"Apa kau tidak punya rasa malu? Tak ada lagi tempat untukmu di sini," ucapnya sambil membetulkan posisi duduk. Ia menatap Maura penuh kebencian. Hal yang sama juga dipancarkan oleh Maura, kedua tangannya mengepal erat sejak ibu tirinya itu membuka suara.
"Aku tidak memiliki urusan denganmu. Aku hanya ingin melihat Papa," ucap Maura setenang mungkin.
Ibu tirinya sontak bangkit dengan wajah memerah, lalu berseru, "Siapa yang kau sebut Papa? Pria tua yang kau buat sakit keras karena perbuatan menjijikkanmu itu, hah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Right There
Roman d'amourArvie Jonathan (23) mahasiswa populer prodi ilkom mendadak memiliki musuh di seberang rumahnya. Bukan tanpa sebab ia membenci anak laki-laki yang dijulukinya tuyul itu, selain karena pertemuan keduanya yang tidak bisa dibilang baik, Arvie juga tidak...