[26] Am I Okay?

673 37 6
                                    

Arvie menyingkap sedikit gorden kamarnya kala deru mesin mobil terdengar dari seberang rumahnya. Hatinya lega menangkap itu adalah mobil Maura, ia sedikit membungkukkan badan untuk melihat wanita itu keluar dari dalam mobilnya seraya menggendong Stev yang tertidur. Arvie lantas melirik jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh malam. Anak itu pasti kelelahan setelah diajak bermain oleh Maura serta si brengsek itu.

Ia lantas menutup kembali gordennya lalu melangkah keluar kamar. Setibanya di dapur, Arvie yang masih merasa gerah membuka lemari es kemudian meneguk air dingin dari botol. 

"Vie, lo besok free gak?"

Arvie tersedak begitu sebuah suara menginterupsinya dari arah belakang.

"Uhuk! Kenapa?"

Karin tersenyum geli kala pria dengan rambut gondrong serta kaos singlet tanpa lengan di depannya terengah-engah. Tangannya dengan lembut mengambil tisu lalu menyeka bibir serta dagu Arvie yang basah oleh air dingin.

"Anter gue ke toko buku."

Arvie menahan tangan Karin yang masih bertengger di wajahnya, ia menghela nafas pelan, "Gak bis--"

"Tentu bisa, nak. Lagipula Arvie'kan sudah selesai ujian akhir semester jadi banyak waktu senggangnya."

Seorang pria berkacamata yang sejak tadi memerhatikan keduanya di balik kursi makan bersuara. Bibir tipisnya tersenyum penuh arti kala menatap raut sang putra yang nampak tak setuju dengan ucapannya.

"Gapapa, Vie. Hitung-hitung kalian ketemu kangen setelah bertahun-tahun tidak bertemu. Duh, padahal dulu kalian dekat sekali, lho," timpalnya.

Karin mengangguk seraya tersipu malu, "Kita cuma ke toko buku doang kok, Yah."

Arvie yang geram karena sang ayah seenak jidat mengiyakan ajakan Karin tanpa sadar meletakkan botolnya dengan keras ke atas meja. 

"Arvie ngantuk."

Usai mengatakannya, ia meninggalkan Karin serta sang ayah untuk kembali ke dalam kamar. Begitu pintu kamarnya tertutup, Arvie tiba-tiba saja merindukan Maura serta Stev. Ia ingin mengantarkan Stev ke taman kanak-kanaknya lagi, ingin mengantarkan Maura ke kantornya lagi. Tapi, ia tidak memiliki kuasa untuk memaksa mereka berdua mengikuti keinginan hati kecilnya. Ditambah kehadiran Karin yang seakan menghambat interaksi mereka, Arvie benar-benar dibuat rindu.

Drrt Drrt

Ponsel di kantung celananya bergetar hebat, dengan sigap Arvie meraihnya lalu terkejut menemukan nama Zidan terpampang di layarnya.

"Oit, Zid?"

"Woy Vie, gue ada kabar bagus buat lo."

Arvie lantas merebahkan tubuhnya di kasur, alisnya mengkerut bingung,

"Kabar apa?"

"Eits, tapi ini kaga gratis, bro."

Arvie berdecak, "Ya emangnya kabar apaan?"

"Gue bilang kaga gratis bro! Ini kabar berbayar!"

"Sat! Iya nanti gue traktir!" kesal Arvie.

Terdengar tawa puas Zidan di seberang telepon sebelum kemudian kembali berucap serius, "Om gue'kan punya cafe. Nah, salah satu pegawainya ada yang lagi cuti lahiran jadi ada posisi kosong. Gue udah sempet ngerekomendasiin lo, terus kata om gue terserah dari lo-nya mau apa enggak. Kalau lo mau, hari Senin kita gas ke sana."

Arvie tak bisa menyembunyikan senyum sumringahnya kala mendengar penuturan Zidan, kepalanya tanpa sadar mengangguk antusias dengan tubuh yang telah bangkit terduduk.

Right ThereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang