[27] Ayah Arvie vs Roni

668 42 3
                                    

Arvie menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi sebuah cafetaria. Tatapannya kosong menatap sosok Karin yang sejak tadi berceloteh ria entah menceritakan apa. Kepalanya kini terus memutar kejadian pagi tadi, tidak bisa dipungkiri hatinya sakit melihat bagaimana Maura nampak terus menghindarinya.

Ia juga muak, mengapa semua orang seolah mendorongnya untuk terus bersama Karin? Sang ayah, Zidan hingga Maura, ketiganya membuat ia kesal setengah mati. Tidak tahukah, bahwa yang diinginkannya adalah terus berada di sekitar Maura dan Stev. 

Apa mungkin Maura berniat menjauhkannya dari Stev karena dipengaruhi oleh si brengsek Kevin itu? atau mereka telah bersama? apa Maura menyadari perbedaan antara dirinya yang hanya seorang mahasiswa biasa sementara pria itu yang memiliki segalanya termasuk uang yang berlimpah? Tapi untuk yang terakhir, Arvie sedikit ragu.

Maura tidak menampakkan gerak-gerik perempuan haus harta, lagipula untuk apa mengemis harta pada lelaki jika dirinya sendiri bisa bekerja dan menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhannya serta sang anak. 

Jika dipikir-pikir yang pantas dikatakan sebagai pria yang memanfaatkan pasangannya nanti adalah ia sendiri. Maura adalah wanita karir yang mandiri, sementara dirinya hanyalah mahasiswa yang masih mengandalkan orang tua. Mimpi apa ia bisa menjadi ayah sambung bagi Stev?

"Vie~" 

Arvie tersentak begitu tangannya terasa diguncang keras, ia mengerjap dan menemukan raut cemberut disertai rengekan Karin.

"Elo kenapa sih dari kemarin?"

Arvie menyingkirkan tangan Karin secara halus, "Gapapa."

"Hmm, jadi gimana menurut lo? Gue cocok'kan masuk jurusan ekonomi?" tanya Karin berbinar-binar.

Lagi-lagi Arvie hanya memberi respon berupa anggukan ringan. Hal itu membuat Karin diam-diam berdecak sebal, tidak mungkin dirinya tidak tahu penyebab Arvie berubah seperti ini.

"Elo masih inget gak dulu waktu SMP gue nembak lo di lapangan sekolah?" 

Arvie meneguk minumannya seraya mengangkat kedua alisnya tinggi. 

"Elo belum kasih gue jawaban."

"Uhuk!" Arvie terbatuk beberapa kali dengan raut bingung, "Jawaban?"

"Iya, lo gak kasih gue jawaban ya atau enggak. Jadi, bisa gak kalo gue tagih jawaban itu sekarang?"

Karin menatapnya serius, tak berbeda dengan Arvie yang berusaha menetralkan raut  terkejutnya. Itu sudah lama sekali, Arvie bahkan tidak mengingatnya dengan jelas. Namun, seharusnya Karin tahu apa jawaban yang akan diberikannya, bukan?

"Maaf, Kar," ucapan Arvie terpotong kala Karin mengangkat sebelah tangannya di udara. 

Ia tersenyum geli, "Apa ini gara-gara janda anak satu itu?"

Arvie terdiam tanpa ekspresi, hingga Karin tertawa kecil lalu berujar santai, "Karena hubungan kalian belum jelas, lo bisa'kan kasih gue kesempatan?"

"Kar, sejak sekolah sampai sekarang lo di mata gue itu gak lebih dari seorang adik," tutur Arvie jujur. Ia merasa harus meluruskan hal ini takut jika Karin semakin menaruh banyak harapan padanya.

"Cukup kasih gue kesempatan, Vie. Gue yakin lo bisa jatuh cinta sama gue."

Karin menatapnya penuh keyakinan, membuat Arvie menggeleng pelan lalu bangkit berdiri dan meraih kunci motornya, "Gue masih ada urusan. Elo balik sendiri, ya."

Usai menepuk singkat pucuk kepala Karin yang nampak masih hendak berbicara, tubuh jangkung Arvie melangkah pergi meninggalkan Karin seorang diri.

*

Right ThereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang