Tungkai Arvie berdiri pasrah di samping pos satpam, ia telah mencari Stev hingga ke sudut-sudut kampus. Semua orang bahkan turut membantunya, namun hingga pukul enam petang ini hasilnya tetap nihil.
Arvie menonjok perutnya sendiri yang sejak tadi meraung perih minta diisi, menurutnya ini bukanlah saat yang tepat untuk makan. Maura sedang dalam perjalanan ke kampusnya, ia tidak bisa membayangkan semarah apa wanita itu kala tau anak yang dicintainya hilang.
Arvie tak berdaya, hendak melapor pada polisi namun ini belum satu hari sejak Stev menghilang. Entah di mana anak itu berada, Arvie hanya bisa merapalkan mantra doa untuk meyakinkan dirinya jika Stev baik-baik saja.
Tak lama terdengar suara berisik dari arah speaker kampus, awalnya hanya terdengar helaan nafas menderu yang membuat Arvie mendongak bingung. Hingga akhirnya suara cempreng khas anak-anak berkumandang.
"Pipi!"
Bak disiram air dingin, Arvie lantas bangkit dan berlari luntang lantung menuju sumber suara. Keringat dingin perlahan bermunculan di dahinya, mengiringi rasa sakit teramat sangat pada perutnya.
"Nak, kamu yakin ayahmu di sini?"
"Siapa nama ayahmu?"
Brak!
Pintu ruangan terbuka kencang, Arvie dengan tampilan semrawut berseru kencang, "Saya ayahnya!"
Nafas Arvie menderu membuat beberapa orang yang memenuhi tempat itu sontak memundurkan tubuhnya begitu saja. Namun tidak bagi Stev yang kini berlari kecil menghampirinya.
Arvie sontak merendahkan tubuhnya dan membuka tangan lebar-lebar, hingga Stev dapat menghambur pada pelukannya.
"Stev dari mana? Sudah makan? Ada luka?" Arvie bertanya bertubi-tubi seraya memutarkan tubuh kecil itu beberapa kali.
Wajah pucatnya melega begitu tak ada satu pun hal mengganjal terjadi pada tubuh Stev.
"Maafkan Stev, Pipi," cicit Stev berkaca-kaca.
Hati mungilnya sedih begitu melihat raut kekhawatiran yang kentara pada wajah tampan pria itu.
"Stev dari mana? Pipi cari kamu ke semua tempat!" Arvie tanpa sadar menggenggam kedua pundak Stev erat, menyalurkan rasa takutnya.
Stev menunduk seraya menggigit bibir bawahnya, "Stev telcecat, Pipi. Stev telcecat, tetapi Stev tida menangis! Stev beltemu dengan grandpa kacamata lalu kita beldua jalan-jalan."
Arvie mengikuti arah tunjuk Stev pada sosok dosen berumur di dalam ruangan itu. Rahangnya yang mengeras perlahan melunak begitu pria tua tersebut tersenyum penuh sesal.
"Maafkan saya. Begitu melihat Stev saya langsung teringat dengan cucu saya yang telah meninggal lima bulan lalu. Sehingga saya sangat antusias mengajaknya pergi ke tempat bermain kami dahulu. Saya juga mengira Stev adalah anak salah satu rekan saya yang datang hari ini. Saya meminta maaf untuk itu, Ayahnya Stev."
Dada Arvie menghangat sedikit, ia beralih menangkup wajah Stev dengan tatapan lembut.
"Stev, oce, Pipi. Stev janji tida akan pelgi belcama olang acing lagi. Janan bilang mommyna?"
Arvie tersenyum kecil lalu dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia lantas menggendong Stev untuk membawanya pergi setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih.
"Stev, diajak pergi ke mana saja?" Arvie membuka suara seraya melangkahkan kakinya menuju gerbang utama kampus.
"Ungg, pelgi mam chicken, ke taman belmain cama beli es klim, Pipi!" jawab Stev ringan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Right There
RomantizmArvie Jonathan (23) mahasiswa populer prodi ilkom mendadak memiliki musuh di seberang rumahnya. Bukan tanpa sebab ia membenci anak laki-laki yang dijulukinya tuyul itu, selain karena pertemuan keduanya yang tidak bisa dibilang baik, Arvie juga tidak...