Seorang pemuda dengan balutan kaus putih serta celana levis belel selutut nampak kesetanan mengendarai motornya. Wajah di balik helmnya mengeras seiring giginya yang saling bergemelutuk menahan amarah. Mata elangnya menatap nyalang jalanan di hadapannya, ia bahkan menulikan telinga saat rentetan bunyi klakson serta teriakan nyaring manusia menggema usai aksinya menerobos lampu merah.
Arvie kalut. Dadanya terus bergejolak tidak tenang. Terik matahari yang kian meninggi tidak lagi ia rasakan, meski panasnya menyengat kulit dan membuat kaosnya basah hingga menampilkan otot tubuhnya yang sempat menarik perhatian para pengguna jalan.
Setelah bergelut dengan padatnya jalanan ibukota, ia akhirnya tiba di bandara yang Kevin maksud. Tempat luas nan bersih itu begitu dipadati oleh manusia dari berbagai ras dan penampilan yang rapi. Sangat kontras dengan tampilannya yang lebih mirip gembel versi tampan.
Arvie membuang nafas lelah, lalu mengikat rambutnya dengan gelang pemberian Maura. Tatapannya terus berpendar ke segala arah. Ia telah hampir menyisir segala tempat mencari keberadaan Maura dan Stev. Namun hasilnya nihil.
Ponsel yang sejak tadi ia genggam erat-erat hanya menampilkan layar yang sama berkali-kali. Kak Mauranya tidak bisa dihubungi. Hal itu membuat Arvie terpukul hingga mendaratkan tubuh lunglainya pada sebuah kursi.
Mengusap wajahnya kasar seraya mengumpati kebodohannya. Arvie menangkup wajahnya selama beberapa saat. Jika waktu dapat diputar, ia sangat ingin mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya pada Maura.
Arvie ingin mengatakan bahwa ia mencintai Maura dengan tulus. Ingin mengatakan jika Maura adalah wanita hebat kedua setelah ibu kandungnya. Ingin berteriak bahwa ia siap menerima segala konsekuensi mencintainya. Ia siap bergelut bersama Stev atau bahkan seluruh dunia asalkan Maura bahagia dan tetap berada di sisinya.
Arvie sangat ingin merengkuh wanita rapuh itu ke dalam pelukannya erat-erat lalu mendengar seluruh keluh kesahnya hingga ia terlelap.
"Kak, bagaimana bisa kau berharap aku bahagia saat sumber kebahagiaanku ada padamu dan Stev?" batinnya putus asa.
*
Bu Ningsih tengah menyapu saat suara motor yang ia hafal tiba-tiba terdengar nyaring di depan rumahnya. Ia terkejut menemukan kondisi sang putra yang nampak berbeda dari biasanya.
Tanpa babibu, dirinya lantas bergegas membuka gerbang dan membiarkan pria jangkung itu semakin merangsek masuk lalu melepas helmnya dengan kasar.
Bu Ningsih bahkan bisa melihat raut kosong sang putra yang tidak berani menatap matanya. Sebaliknya, pemuda itu justru berbalik untuk melihat rumah di seberangnya dengan tatapan kecewa.
"Vie?" tanyanya perlahan.
Arvie bergeming lalu tertunduk lesu di atas motornya. Sekilas, Bu Ningsih mendapati manik sang putra yang memerah dan berair.
"Vie, kau ini kenapa?" tanyanya mulai khawatir.
Arvie akhirnya bangkit lalu mendekapnya erat, kepalanya bahkan mendusal pada bahunya seolah malu jika sang ibu mendapatinya menangis setelah sekian lama.
"Maafkan Arvie, Bu."
Bu Ningsih semakin tidak mengerti, "Maaf? Untuk apa?"
Arvie menggeleng pelan tanpa melepas pelukannya, "Maaf karena sampai sekarang anak kebanggaan ibu ini masih menjadi seorang pecundang. Pecundang yang tidak pernah bisa berani membuat keputusannya sendiri. Pecundang yang layak untuk ditinggalkan."
Bu Ningsih terdiam. Tangannya dengan perlahan menepuk halus punggung putra tunggalnya penuh perhatian.
"Kau tetap putra kebanggaan ibu, Arvie. Bukan tidak pernah berani," Bu Ningsih menangkup wajah letih sang putra lalu tersenyum, "Tapi belum berani."
Arvie menggigit bibir bawahnya kuat, "Kak Maura dan Stev pergi, Bu. Mereka pergi," gumamnya sesak.
Bu Ningsih tak melunturkan senyum, ia mengangguk pelan lalu memeluk Arvie kembali. Bibirnya berbisik pelan, "Ya, ibu tahu."
*
Di waktu yang lain, Maura dan Stev kini tengah berada di dalam mobil mewah menuju mansion milik Juan. Pria itu sejak tadi menggendong Stev yang terlelap di pangkuannya dengan sebelah tangan yang sibuk menggeser layar tab. Bola mata hitam di balik kacamatanya nampak bergerak serius hingga tak menyadari ada sosok yang memperhatikannya diam-diam sejak tadi.
"Kak," panggilnya serak.
Juan terkejut lalu menoleh, "Kau terbangun? Apa aku terlalu berisik?" tanyanya sambil berbisik.
Maura menggeleng, ia melihat sebelah tangannya yang kini berada di genggaman Juan lalu tersenyum tipis, "Terima kasih."
Juan balas tersenyum, "Kau dan Stev adalah tanggung jawabku mulai sekarang," ucapnya mantap.
Maura terdiam saat sudut hatinya berteriak tidak senang. Sejujurnya, sejak berada di pesawat hingga menghirup udara musim dingin kota Toronto, Maura tidak pernah bisa terlelap. Ia bertanya-tanya bagaimana reaksi Arvie jika mengetahui ia dan Stev pergi tanpa pamit. Apa pria itu merasa sedih? Apa ia merasakan rasa kehilangan seperti yang ia rasakan? Atau justru tidak sama sekali?
"Del, aku ingin mengatakan sesuatu."
Juan mematikan tabnya lalu mendekatkan Stev yang dibalut jaket bulu untuk semakin menempel erat pada tubuhnya. Memastikan sang putra merasa nyaman dan tidak merasa kedinginan.
Maura tersentak kecil kala merasakan genggaman Juan di tangannya mengerat. Pria itu menghela nafas sebelum menatapnya lamat-lamat.
"Aku meminta maaf karena membuatmu dan Stev berada di sini. Aku meminta maaf atas semua kesalahanku padamu. Kau telah banyak melewati kesulitan dan aku sangat ingin menebusnya. Satu-satunya cara untukku menebus semua kesalahanku padamu dan Stev adalah membuat kalian berdua berada di sisiku untuk selamanya."
Maura mengerjap pelan, Juan melanjutkan, "Mari kita membuka lembaran kehidupan yang baru di sini. Aku akan membahagiakan dirimu dan Stev."
"Aku mengerti bahwa kau dan Stev harus beradaptasi kembali. Tapi kita bisa memulainya secara perlahan, membentuk sebuah keluarga yang semestinya. Tanpa ada orang lain. Hanya aku, kau dan Stev saja."
Maura berkaca-kaca, ia melihat ketulusan di mata Juan, namun di satu sisi merasa tidak rela jika harus meninggalkan segalanya tentang Arvie. Karena sampai detik ini, hatinya masih berada pada pemuda itu. Tapi ia tak kuasa menyangkal ucapan penuh tekad dari bibir sang kakak tiri.
Hingga saat mulut Juan kembali terbuka untuk mengucapkan sebuah kalimat yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Maura merasa tubuhnya tersengat listrik jutaan volt dan jantungnya berhenti bekerja.
"Menikahlah denganku Maura Adellia."
TBC
PUTRIANY R
Halo guys, buat kalian yang suka sama cerita Right There boleh banget mampir ke akun instagram; @poetrylatte [link ada di bioku] karena di sana bakal banyak info menarik tentang dunia Arvie, Maura dan Stev.
Jangan lupa follow! ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Right There
RomanceArvie Jonathan (23) mahasiswa populer prodi ilkom mendadak memiliki musuh di seberang rumahnya. Bukan tanpa sebab ia membenci anak laki-laki yang dijulukinya tuyul itu, selain karena pertemuan keduanya yang tidak bisa dibilang baik, Arvie juga tidak...