[2] Om Hantu dan Tuyul Cadel

1.8K 91 5
                                    

Sebuah mobil sedan putih berhenti tepat di depan sebuah rumah minimalis dengan gerbang yang dikunci. Rumah yang didominasi warna kuning pastel. 

Mesin dipadamkan sejenak, seorang wanita dengan tubuh ramping yang dibalut midi dress abu-abu keluar dari dalamnya. Rambut ikalnya yang berwana hitam kecoklatan terurai indah ditimpa sinar matahari. Wajah mungilnya dibingkai kacamata hitam dengan bibir terpoles lipstik nude gelap yang kian melengkapi penampilan anggunnya.

Sambil menyelipkan ponsel di antara telinga dan bahu, ia mulai membuka gembok yang mengunci rumah tersebut. Tak lama benda tersebut terbuka dengan gemerincing nyaring, ia lantas kembali menuju mobilnya dan duduk di kursi kemudi.

"Ya, aku sudah sampai," ucapnya pada ponsel yang masih setia terselip di antara telinga dan bahunya.

"Ah, dia tertidur sejak di jalan tol."

Usai memasukkan mobilnya pada halaman rumah minimalis tersebut, ia memadamkan mesin dan membalikan tubuhnya ke samping. Bibirnya tertarik menatap sosok malaikat kecil yang tertidur pulas dengan bantal leher bergambar minion.

"Baiklah. Akan aku sampaikan padanya nanti. Terima kasih banyak untuk semuanya," ujarnya tulus. Jemari lentiknya bergerak mengusap poni halus sang putra yang bergumam dalam tidurnya.

"Okay. See you!"

Sosok wanita cantik itu adalah Maura Adellia. Seorang ibu sekaligus ayah bagi Stefanus Adellio, anak laki-laki cerdas berumur lima tahun yang kini tengah menggeliat menahan kantuk di pelukannya.

"Sorry boy, apa mommy membangunkanmu?" tanya Maura begitu menutup pintu mobilnya.

Sambil menggendong sang putra, Maura berjalan menuju pintu gerbang untuk menutupnya kembali. Namun ia tak langsung berbalik masuk, tangannya yang bebas memilih menaikkan kacamata hitamnya hingga berada di atas kepala.

Kedua mata bulatnya menatap lekat pada bangunan tingkat di seberangnya. Sebuah rumah besar yang didominasi warna hitam dan putih. Tatapannya perlahan naik pada jendela kamar lantai dua rumah tersebut.

"Hungg, mommy. Stev lapal."

Maura tersentak mendengar cicitan cadel dari putra kecilnya yang kini asyik mendusel manja pada lehernya. Ia terkekeh, lalu mengecup rambut yang menguarkan harum buah melon itu berkali-kali kemudian berjalan memasuki rumah barunya tersebut.

"Baiklah, apa yang putra mommy ingin makan, hm?"

"Naci goleng."

"Oce, mali kita macak naci goleng!"

*

Sementara di sebuah kamar kos pria, tiga orang pemuda nampak tengah tertawa terbahak-bahak sembari menunjuk wajah satu sama lain. Pasalnya wajah ketiganya kini berlumuran tepung--sebuah konsekuensi dari permainan gila yang tengah mereka mainkan sejak berjam-jam yang lalu.

"Gak adil, njing. Kenapa gue mulu sih!" protes Zidan yang lagi-lagi harus pasrah wajahnya kembali dicelupkan pada baskom berisikan tepung oleh kedua sohib laknatnya.

Arvie tertawa puas, "Itu membuktikan kalo otak lo kagak ada isinya!"

"Monyet!"

Sosok pemuda lain dengan kaos Manchester United yang terduduk di antara keduanya kembali berucap semangat, "Oke, lanjut nih. Ibukota negara India!"

"Gue! Gue!" Zidan berseloroh mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Vrindavan!"

Arvie terdiam, "Vrindavan apaan cok! Mumbai tolol!" semprotnya lalu tertawa keras.

Right ThereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang