Maura memandang kosong langit biru di balik kaca sebuah mobil mewah. Harusnya mobil itu membuatnya nyaman, tapi entah mengapa dirinya justru berharap untuk dapat segera turun dari sana. Meskipun air conditioner mobil nampak berfungsi dengan baik, tapi rasanya angin semilir di luar sana terlihat lebih menyegarkan. Seperti saat ia dibonceng di atas motor Arvie, meski panas tapi Maura sadar sensasinya jauh lebih menyenangkan ketimbang terduduk diam di dalam mobil mewah ini.
"Mommy, kita mau ke mana?" Stev mendongak pada sang ibu yang sejak tadi asyik termenung menatap jendela. Alisnya mengerut melihat wanita yang disayanginya itu bergeming tak menjawab, "Mommy!"
Maura tersentak, ia tersenyum gugup menatap wajah cemberut Stev seraya melirik Juan yang ikut menatapnya.
"A—ah, iya kenapa, Stev?"
"Ck, mommy ni Stev tadi tanya kita mau ke mana tau!" gerutunya, Maura lantas tersenyum lalu mengelus rambutnya lembut.
"Kita mau beli perlengkapan sekolah. Stev'kan sudah besar, sudah berumur enam tahun, jadi sudah bisa masuk sekolah dasar," jelasnya. Stev perlahan berbalik menatapnya, kedua tangan mungilnya memeluk pinggang Maura erat.
"Nanti Pipi jemput Stev tida?"
Deg.
Maura tergagap, ia melirik Juan yang nampak fokus menyetir lalu menangkup wajah bulat sang putra penuh perhatian.
"Nanti Mommy yang jemput, oke?"
Stev merengut sedih, "Tapi mommy'kan cibuk."
Juan menghela nafasnya berat, melirik keduanya dengan senyum tipis, "Aku pikir kita berdua harus bicara, Del."
Maura menatapnya bingung, "Tentang apa?"
"Tentang kehidupanmu dan Stev selanjutnya. Kita berhenti sebentar di taman bermain untuk membeli es krim, Stev mau?" tanya Juan seraya mengusap kepala sang putra, anak itu sontak menatapnya berbinar, "Mau! Stev mau es klim!"
Juan menatap Maura yang masih memasang raut tak mengerti dengan senyum teduh. Mobil sport mewah itu akhirnya berhenti di sebuah taman bermain yang ramai oleh anak-anak seusia Stev. Usai mengantarkan Stev mendapatkan es krim dan membiarkannya bermain bersama anak-anak yang lain, Juan menghampiri Maura yang sejak tadi memperhatikannya di atas kursi taman.
Cuaca hangat di hari Sabtu membuat wajah Maura nampak indah ditimpa sinar mentari pagi. Juan bahkan dibuat tersihir sejenak kala mata bulat cantik itu menatapnya penuh rasa ingin tahu.
"Eum, jadi ada apa?" tanya Maura pelan yang langsung menyentak kesadaran Juan. Pria dewasa itu berdeham seraya menggulung kedua sisi lengan kemejanya hingga siku.
"Aku ingin membawa kalian berdua bersamaku ke Kanada."
Bak tersambar petir, Maura sontak membalik tubuhnya menghadap Juan yang kini tengah memandang jauh ke depan, tepatnya pada Stev yang asyik bermain. Dada Maura berkecamuk, mengapa ia dan Stev harus pindah ke Kanada?
"Kenapa? Kenapa harus ke Kanada?" tanyanya dengan nafas menderu. Raut terkejut nampak terlukis jelas di wajahnya.
Juan menoleh serius, "Aku akan bertanggung jawab pada kalian berdua, jadi mana mungkin aku meninggalkan kalian di sini sementara aku hidup di Kanada?"
"Ta—tapi bagaimana dengan pekerjaanku, Kak?" tanya Maura serak. Ia memang mengizinkan Juan untuk bertanggung jawab terhadap sang putra, namun mengapa ia dan Stev harus pindah tempat tinggal bahkan pindah negara? Mengapa pria itu tidak menetap di sini saja, atau kalau ia ingin ke Kanada pun Maura tidak akan melarang. Juan dapat menemui Stev kapan pun sewaktu pria itu bertandang ke Indonesia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Right There
RomantizmArvie Jonathan (23) mahasiswa populer prodi ilkom mendadak memiliki musuh di seberang rumahnya. Bukan tanpa sebab ia membenci anak laki-laki yang dijulukinya tuyul itu, selain karena pertemuan keduanya yang tidak bisa dibilang baik, Arvie juga tidak...