Maura berlari bak orang kesetanan di lobi kantor, tak dipedulikannya beberapa pegawai yang menatapnya aneh. Jantungnya berdegup tidak tenang saat mengetahui kabar bahwa Kevin kecelakaan yang menyentak kesadarannya bahwa sang putra pasti masih berada di sekolah.
Usai memasuki mobilnya, Maura menyalakan mesin dengan tidak sabar. Ia memacu mobilnya secepat mungkin, ketakutan di hatinya menimbulkan banyak kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa terjadi pada sang putra.
Maura menyeka pipinya sejenak ketika mobilnya telah sampai di tempat tujuan, tubuh rampingnya yang terbalut kemeja biru langit itu lantas berlari ke dalam bangunan besar yang dihiasi gambar kartun warna-warni.
"Tidak ada, Bu. Anak-anak sudah bubar pukul satu siang seperti biasa," jelas seorang satpam penjaga gerbang pada Maura.
Beberapa guru yang masih tersisa di ruangannya pun telah ia tanya satu persatu namun nihil, ia tak memberikan informasi apapun. Kepala Maura rasanya ingin pecah saat beberapa orang di hadapannya kini malah ribut berdiskusi sekaligus saling menyalahkan karena kelalaian masing-masing. Maura meremat rambutnya kuat lalu meninggalkan mereka semua dengan rasa kecewa. Ia menutup pintu mobilnya keras, menundukkan kepalanya pada stir kemudi. Perlahan isakannya menggema, sesekali ia membenturkan kepalanya dan terus mengumpati kebodohannya.
Perkataan dari seorang guru di sana terdengar memantul di dalam kepalanya: "Mengapa Ibu seolah menyalahkan pihak kami? Harusnya ibu berkaca, ibu macam apa yang lalai menjaga anaknya sendiri?"
Dadanya sakit sekali, tapi Maura tak akan menampik hal itu. Mungkin benar, ia adalah seorang ibu yang buruk.
Mengusap wajahnya kasar, Maura menyalakan kembali mesinnya. Ia sudah meminta pak satpam untuk mengecek cctv di sana dan mengabarinya bila mendapatkan informasi terbaru. Sambil melajukan mobil perlahan, kedua matanya yang sembab menelisik sekitar sekiranya sang putra kesayangan berada di sana. Ia tidak bisa membayangkan sebingung apa Stev saat menunggu Kevin yang tak kunjung datang, apalagi saat ini telah menunjukkan pukul empat sore. Stev pasti ketakutan dan kelaparan menunggu berjam-jam.
"Stev, maafkan mommy, nak," ia terus bergumam lirih. Terkadang saat melewati kawasan ramai Maura akan turun dan menunjukkan foto sang putra pada beberapa orang yang berada di sana, namun sampai saat ini hasilnya tetap nihil. Seandainya ia bisa menyelesaikan tugas bersama kliennya lebih cepat, mungkin hal ini tidak akan terjadi.
Maura memberhentikan mobilnya di depan kediamannya yang masih terkunci, tangannya menangkup wajahnya lelah.
"Mommy!"
Maura semakin merasa bersalah saat suara Stev terdengar samar di telinganya, ia merindukan Stev. Hanya Stev yang dia punya, Stev adalah alasan bagi dirinya untuk tetap hidup.
"Mommy! Ini Stev!"
Maura mengerjap saat suara Stev seakan berada di sekitarnya, ia lantas menurunkan kedua tangannya dari wajah hingga tatapannya kini membelakak bahagia melihat Stev berada di gendongan sosok pemuda yang ia kenal.
"Stev!" Maura memekik lalu berlari keluar meraih anak itu ke pelukannya, tangisnya tak terbendung. Ia menangis hebat seraya memeluk Stev erat-erat.
"Jangan pergi tinggalkan, Mommy. Maafkan mommy, Stev. Tolong maafkan, mommy," gumam Maura tak henti-henti. Stev yang mendengar sang ibu menangis mau tak mau ikut terisak pelan. Arvie yang melihat pemandangan hangat di depannya hanya bisa mengulas senyum tipis.
Tak mau mengganggu keduanya, ia lantas mengambil ponsel Maura yang tergeletak di atas aspal. Ibu muda itu pasti tidak sadar jika benda pentingnya terjatuh begitu saja sewaktu keluar dari mobil.
Arvie lantas mengetikkan nomornya pada ponsel Maura, kemudian melakukan misscall pada ponselnya sendiri. Maura yang mendengar nada dering ponsel Arvie, sontak tersadar dan mulai menguasai dirinya. Ia berdiri sembari menggendong Stev yang masih terisak-isak kecil, tangan lentiknya mengusap punggung kecil itu beberapa kali untuk meredakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Right There
RomanceArvie Jonathan (23) mahasiswa populer prodi ilkom mendadak memiliki musuh di seberang rumahnya. Bukan tanpa sebab ia membenci anak laki-laki yang dijulukinya tuyul itu, selain karena pertemuan keduanya yang tidak bisa dibilang baik, Arvie juga tidak...