"Stev, jangan bermain bola terlalu jauh!"
Pagi hangat di hari Sabtu, Maura dengan apron biru mudanya nampak sibuk membuat sesuatu di balik kitchen bar. Ia berdecak ketika melihat sang putra yang baru saja selesai sarapan kembali memeluk bola basketnya. Kaki kecil itu berlari menuju pintu utama, setelah sebelumnya mengiyakan ucapan sang ibu.
Maura mengela nafasnya panjang, sudah seminggu lebih ia tinggal di rumah ini. Selama itu pula Stev semakin dekat dengan keluarga Bu Ningsih, terutama dengan pemuda bernama Arvie itu. Ia tidak mempersalahkannya, hanya saja Maura takut kehadiran mereka merepotkan orang lain. Di sisi lain juga, Maura takut jika kedekatan sang putra dengan Arvie semakin sulit untuk dipisahkan dan memicu banyak kesalahpahaman nantinya.
Maura membuka oven di sampingnya lalu memasukan dua loyang kue, setelahnya ia melepas sarung tangan kemudian menyeka keringat di dahinya. Ini adalah salah satu kegiatannya di hari weekend yakni membuat kue. Stev sangat menyukai makanan manis dan ia adalah sosok yang senang mencoba berbagai resep masakan.
Maura melirik jam dinding yang menunjukkan pukul delapan, tangan lentiknya terangkat untuk melepas apron serta membetulkan ikatan rambutnya.
"Ada di mana anak itu?" gumam Maura, kaki jenjangnya melangkah mendekati pintu utama yang terbuka lebar. Ia tidak menemukan Stev di sekitar rumahnya, namun suara pekikan tak asing tedengar dari arah seberangnya.
Maura menghela nafasnya menemukan sang anak yang lagi-lagi berada di halaman rumah Bu Ningsih tengah bermain bola basket bersama Arvie. Terkadang Maura ingin bertanya pada pemuda itu tentang beberapa hal seperti: mengapa ia mau bermain dengan anaknya? apa ia memiliki maksud tersembunyi? bisakah ia berjanji untuk tidak menyakiti Stev?
Maura meringis, ia tidak mau overthinking, namun untuk ukuran seseorang yang baru dikenal selama beberapa minggu. Kedekatan keduanya tidak wajar, bahkan hampir menyaingi kedekatan seorang anak dan ayah. Maura menggigit bibir bawahnya kuat, kilas balik masa lalu seperti baru saja melewatinya, ia tanpa sadar meremat rambutnya kuat.
Apa ia salah langkah karena menjauhkan sosok itu dari kehidupan Stev, sehingga sang anak malah menemukan figur ayah dari orang lain?
*
"Nih, lihat. Bisa gak lo?"
Arvie melakukan gerakan mendribble bola basket di tangannya hingga membuat Stev terpukau dengan mulut terbuka. Arvie menyeringai puas dan semakin menunjukkan kebolehannya dalam bermain bola basket. Maklum saja, sewaktu di bangku SMA, Arvie merupakan kapten klub basket di sekolahnya.
Kedua mata Stev berbinar-binar menatap gerak-gerik Arvie, ia bertepuk tangan sesekali kala bola basketnya nampak seperti memiliki lem perekat sehingga tidak mudah terlepas dari tangan Arvie.
"Mau-mau! Stev mau cuga!"
Dengan senyum mengejek, Arvie lantas mengoper bola basket pada Stev yang lagi-lagi meleset dan mengharuskan anak itu mengejarnya. Dengan susah payah, Stev mengikuti gerakan mendribble bola seperti yang Arvie lakukan namun bibirnya mengerucut kesal saat bola tersebut terus-terusan menggelinding. Hal itu membuat Arvie tertawa puas di tempat.
"Ugh, kenapa bolana tidak mau menulut pada Stev!" keluhnya yang masih berusaha mendribble bola dengan mata berkaca-kaca.
Tawa Arvie semakin menjadi-jadi, hingga pandangannya tanpa sengaja menyinggung sosok ibu dari bocah tersebut yang sedang kesulitan membuka gerbang rumahnya dengan sebuah kotak di tangan. Arvie mengalihkan tatapannya ke arah Stev dan terkejut saat bola dari tangan itu melambung kencang ke arah gerbang tempat di mana Maura berdiri.
![](https://img.wattpad.com/cover/345037055-288-k792424.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Right There
عاطفيةArvie Jonathan (23) mahasiswa populer prodi ilkom mendadak memiliki musuh di seberang rumahnya. Bukan tanpa sebab ia membenci anak laki-laki yang dijulukinya tuyul itu, selain karena pertemuan keduanya yang tidak bisa dibilang baik, Arvie juga tidak...