Maura menimang benda persegi digenggamannya dengan pikiran berkecamuk. Ia terus memandangi room chat dengan satu nomor asing di layar ponselnya. Teks itu sudah terketik sempurna, hanya tinggal mengklik send lalu selesai. Namun nyatanya, bagi Maura hal itu tidaklah mudah. Ia takut akan merepotkan seseorang di sana, takut apabila dicap sebagai ibu tidak bertanggung jawab, takut dianggap sebagai sosok wanita yang memanfaatkan kebaikan seseorang.
Maura menghela nafas berat, hendak mengurungkan niatnya dan meminta izin kepada atasannya untuk menjemput Stev. Akan tetapi niatnya urung saat ponsel di genggamannya berdenting dan menampilkan chat dari sosok yang dipikirkannya sejak tadi.
Arvie
Selamat siang, Mommy Stev. Bolehkah aku menjemput Stev hari ini?
Senyum di bibir merah delima itu mengembang sempurna, ia lantas mengetikkan balasan secepatnya. Mendadak ketakutan-ketakutan yang sebelumnya menghantui dirinya hilang tak bersisa.
Tentu saja, terima kasih banyak, Arvie.
Lama tak mendapatkan balasan, Maura tanpa melunturkan senyumnya lantas kembali memfokuskan diri pada laptopnya. Namun berselang satu menit, benda itu kembali berdenting dua kali.
Arvie
Sama-sama.
Jangan lupa untuk makan siang, Mommy. :)
Jantung Maura berdesir, ia mengerjap beberapa kali lalu mematikan ponselnya segera. Akan sangat memalukan jika seseorang memergokinya tengah tersenyum-senyum sendiri meratapi ponsel dengan wajah merona.
Maura tidak habis pikir dengan dirinya sendiri. Ia sudah memiliki anak, mustahil merasakan perasaan aneh seperti ini lagi, apalagi penyebabnya adalah seorang mahasiswa.
Tidak, Maura masih waras.
*
Di sisi lain, Arvie mati-matian menahan teriakannya di dalam kelas yang tengah berlangsung. Tangannya di bawah sana mencengkram ponsel kuat-kuat, bibirnya terlipat menahan senyum dengan dahi mengkerut.
Tepat saat dosen di depannya mengucapkan salam perpisahan dan melengang pergi, Arvie lantas mengerang seraya menelusupkan wajah di antara lipatan tangan. Orang-orang mengira ia tengah melepaskan rasa muak akibat berjam-jam terduduk, namun kenyataannya sangatlah berbeda.
"Oy, kantin yok!"
Zidan menyikut bahu Arvie seraya membuka ponselnya. Namun alisnya mengkerut tatkala pemuda gondrong itu malah meresponnya dengan mengangkat kedua tangan di udara.
"Gue nyerah!"
Zidan berdecak, "Apaan sih tolol."
Arvie mengangkat wajahnya yang sedikit merona dengan cengiran aneh hingga membuat Zidan sedikit memundurkan tubuh dan memandangnya was-was.
"Zid, sudah saatnya gue mengemban tugas mulia ini," ujarnya seraya bangkit merapikan peralatannya, lalu menepuk bahu sohibnya pelan, "Gue duluan."
Tubuh tingginya lantas beranjak pergi secepat kilat, meninggalkan Zidan yang memandang heran kepergiannya.
*
Tak mempedulikan teriknya matahari di siang hari, Arvie menghidupkan mesinnya dan bergerak menempuh perjalanan menuju tempat musuh kecilnya menimba ilmu. Tak sampai satu jam, kini motornya telah tiba di depan gapura bertuliskan Taman Kanak-kanak Mentari. Arvie memarkirkan motornya, lalu berdiri memperhatikan orang-orang di sekelilingnya yang didominasi ibu-ibu.
![](https://img.wattpad.com/cover/345037055-288-k792424.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Right There
RomanceArvie Jonathan (23) mahasiswa populer prodi ilkom mendadak memiliki musuh di seberang rumahnya. Bukan tanpa sebab ia membenci anak laki-laki yang dijulukinya tuyul itu, selain karena pertemuan keduanya yang tidak bisa dibilang baik, Arvie juga tidak...