[36] Sebuah Dilema

552 33 0
                                    

Pagi yang cerah menyambut Stev kecil dari lelapnya. Anak itu mengerjap lambat, namun kala teringat sesuatu tubuhnya sontak melompat turun lalu berlari menuju kamar sang ibu. Dengan mengendap-endap ia memasuki kamar Maura yang masih remang-remang lalu berdiri di hadapan sebuah kalender besar di samping meja rias.

Letaknya yang terlalu tinggi membuat Stev berinisiatif mengambil sebuah kursi. Kedua mata bulatnya menyipit lalu berbinar-binar begitu angka sepuluh pada bulan Juni dilingkari dengan tinta merah berada di depan matanya. Stev sontak mengangkat jemarinya ke udara, mencoba menghitung berapa hari lagi ulang tahunnya akan terlaksana.

"Ungg, kemalin lima cekalang enam telus becok tuju telus, belapa ya?" Stev terus menghitung ulang menggunakan jemari gemuknya hingga tak menyadari gumaman kecil dari bibirnya berhasil membangunkan sang ibu.

Maura bangkit mengusap matanya beberapa kali demi memperjelas pandangan jika sosok kecil yang berdiri di atas kursi menghadap kalender di depan sana adalah putranya. Tubuhnya diam-diam bangkit lalu berdiri di belakang tubuh Stev, ia tersenyum geli menatap Stev yang kesulitan menghitung dengan jemarinya.

"Pintar, ulang tahun Stev tinggal empat hari lagi!"

Stev sontak terjengkat begitu mendengar suara Maura mengalun di sisinya, ia hampir terjatuh namun lengan Maura dengan sigap menangkapnya. Wanita itu mengusak pipi Stev dengan pipinya berkali-kali.

"Huh, anak mommy makin berat saja. Kayaknya mulai tanggal sepuluh mommy gak bakal bisa gendong kamu lagi."

Stev yang mendengarnya lantas tersenyum lebar menampilkan deret gigi susunya, "It's okay, Mommy. Stev bica minta gendong cama Pipi!"

Maura mendengus geli, ia mencium rambut sang putra gemas. Dalam hati, dirinya tengah mati-matian menahan rasa haru. Tak menyangka jika ia akan mempertahankan Stev hingga selama ini. Tak menyangka jika ia akhirnya sanggup berdiri di kakinya sendiri menghidupi sang putra tanpa campur tangan orang lain, baik dari ayah kandung Stev sendiri atau bahkan keluarganya.

"Ayo mandi, Stev."

*

Seperti biasa pagi di hari kerja, rumah Maura akan kembali didatangi tamu tak diundang. Arvie Jonathan, pemuda yang telah rapi itu akan menumpang sarapan di rumahnya. Namun Maura tidak keberatan sama sekali, ia bahkan menyukainya. Stev bahkan menjadi sosok yang lahap jika Arvie berada di meja makan.

"Hari ini aku memasak nasi goreng. Semoga kau suka," ujar Maura seraya menyerahkan piring berisi nasi goreng pada sosok Arvie di depannya.

Pria itu tersenyum manis, lalu dengan semangat mengunyahnya penuh khidmat. Stev yang memerhatikan Arvie sejak tadi pun turut melakukan hal yang sama.

"Masakanmu tidak ada yang tidak enak. Aku selalu suka," sahut Arvie.

Maura menggigit bibir bawahnya pelan saat dadanya kembali berdesir, ia mengangguk ringan lalu bergerak bangkit. Tetapi gerakannya terhenti saat tangan Arvie menarik sebelah tangannya untuk kembali duduk.

Pemuda dengan rambut sedikit berantakan itu dengan telaten mengambil sendok baru kemudian mengambil sesendok nasi goreng dan menyodorkannya tepat di depan bibir Maura yang tertutup rapat.

"Sarapanlah walau sesuap," titahnya.

Maura membelakak terkejut, ia melirik Stev yang memerhatikan keduanya dengan tawa cekikikan. Tanpa sadar pipi Maura sudah merona kembali, ia menggeleng pelan, "Aku tidak—" ucapannya terhenti saat ujung sendok itu terus merangsek maju menyentuh bibirnya.

Maura mengernyit tidak terima namun Arvie balas memelototi sok galak hingga mau tak mau bibirnya terbuka menerima suapan tersebut. Ia mengunyahnya perlahan sambil menatap wajah Arvie yang tersenyum lebar lamat-lamat diiringi tawa bahagia Stev di depan sana.

"Terima kasih," bisik Maura tanpa suara.

Sama seperti hari-hari yang lalu, usai mengantarkan Stev hingga di kelasnya. Kini di motor itu hanya menyisakan sepasang anak adam yang terduduk hening menikmati semilir angin pagi. Meskipun hubungan keduanya belum menemukan titik jelas, tetapi baik Arvie dan Maura, keduanya telah memahami perasaan masing-masing. Tidak ada yang menolak perasaan itu untuk berkembang, tapi mereka masih berdiam dalam batas yang ada.

Bagi Arvie, usai kejadian di warung makan tempo lalu, tak ada salahnya untuk membangun cinta secara perlahan. Ia tidak mau memaksa Maura untuk langsung menerimanya, Arvie menghormati Maura yang masih membutuhkan waktu untuk menyembuhkan lukanya, dan ia tidak akan mempermasalahkan hal itu selama Maura dan Stev tetap berada di sekitarnya.

Sedangkan bagi Maura, ia tengah menikmati waktu-waktu yang mereka lalui seperti sekarang ini. Berusaha menyimpan segala memori indah itu dengan apik dalam ingatannya agar suatu saat nanti ia memiliki alasan untuk tersenyum saat Arvie tak ada lagi di sisinya. Maura bukan wanita polos yang tidak memahami sinyal-sinyal cinta dari pemuda itu, ia tahu sejak awal bahwa Arvie menyimpan rasa padanya, dan mungkin ia sendiri juga diam-diam menaruh perasaan yang sama.

Tetapi Arvie yang hingga saat ini tidak menyatakan apapun membuat Maura paham bahwa hal ini tidak akan bertahan lama, keduanya tidak akan bisa berada pada jalur yang sama. Pria ini masih mencintai kebebasan dan tidak akan sudi menghabiskan waktu untuk sekedar menyembuhkan luka di hatinya.

"Kak."

Maura tersentak begitu suara Arvie menyusup gendang telinganya yang tertutupi helm. Alisnya mengkerut saat mengetahui panggilan baru pemuda itu padanya.

"Kak? Kau memanggilku?" tanya Maura memastikan.

Arvie berdeham canggung, "Aku ingin memanggilmu mommy tapi kau terus melarangnya, jadi bagaimana dengan kakak?" ia menjeda lalu tersenyum jahil, "atau sayang?"

Maura tersenyum kecut, "Terserahmu. Kalau ingin panggil nama juga tidak masalah."

"Hmm, bagaimana kalau momsay? mommy sayang," Arvie tertawa lepas seraya melirik dari arah spion.

Maura meninju bahu pemuda itu ringan hingga tawanya berangsur-angsur senyap. Keduanya berhenti di lampu merah, Arvie seperti biasa dengan tingkah anehnya membawa kedua tangan Maura kembali melingkari perutnya.

"Kak, apa pun yang terjadi kau akan tetap bersamaku'kan?" tanya Arvie ambigu, hati kecilnya tidak tenang usai mendengar perkataan sang ayah semalam.

Maura hening.

Ia tiba-tiba teringat sosok di masa lalu; ayah kandung Stev yang sempat menelponnya beberapa waktu ke belakang. Sedikit demi sedikit ia menyadari bahwa cepat atau lambat Stev harus tahu mengenai ayah kandungnya, ia tak akan bisa menyembunyikan hal itu lebih lama lagi, dan artinya Maura harus mulai menerima pria itu di hidupnya, bukan?

Pandangannya perlahan turun menatap punggung lebar Arvie yang kerap menjadi sandarannya. Maura bingung, ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

"Aku .... aku tidak tahu," gumamnya pelan.

Arvie sedikit kecewa mendengar sahutan Maura yang terdengar tidak yakin, namun secepat kilat ia tersenyum penuh, ditepuknya punggung tangan wanita itu ringan seiring lampu kuning yang berubah warna menjadi hijau. Mungkin saja wanita itu masih sedikit takut untuk membuka hati untuknya.

"Tidak apa-apa. Selama itu menyangkut kau dan Stev aku rela melakukan apapun. Aku akan tetap bersama kalian," tandasnya.

'Bahkan jika harus menentang keluargaku sekalipun' sambung Arvie dalam hati.

Maura menyandarkan keningnya pada punggung Arvie, jantungnya berdenyut tak tenang. Kepalanya pusing, siapa yang harus dia pilih? Di sisi lain Maura juga takut, takut jika ia masih menyayangi sosok itu, tetapi di sisi lain ia juga tidak ingin kehilangan Arvie. 

Maura harus memilih untuk melepaskan egonya dan menerima sosok tersebut demi Stev, atau memilih mempertahankan Arvie dan membiarkan kebenaran tidak akan pernah terungkap.

'Tuhan, apa yang harus kulakukan?' batinnya.


TBC

PUTRIANY R

Halo guys, buat kalian yang suka sama cerita Right There boleh banget mampir ke akun instagram; @poetrylatte [link ada di bioku] karena di sana bakal banyak info menarik tentang dunia Arvie, Maura dan Stev.

Jangan lupa follow! ^^

Right ThereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang