[51] Goodbye

567 28 8
                                    

Maura tersentak saat ponsel di saku celananya bergetar. Sambil mengangkat wajahnya perlahan dari atas kemudi, kedua matanya yang masih terasa perih mengerjap kaget mengetahui Arvie menelponnya. Sial, Maura lupa akan janjinya sore ini.

Sambil melirik jam tangannya sekilas, Maura lantas mengangkat panggilan tersebut dengan jantung berdebar. Ia terlambat, bahkan waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam.

"Ha—halo, Vie?"

Terdengar suara deheman dari seberang sana.

"Kak, aku sudah ada di Grind Vibe cafe sejak empat jam yang lalu."

Maura tercekat, "Maaf, Vie. Aku akan segera ke sana sekarang. Tolong jangan pergi ke mana-mana," ucapnya panik. Ia tidak peduli jika suaranya terdengar jelek sebab kegiatan menangisnya beberapa waktu yang lalu.

Maura menyeka kedua pipinya yang lembap dengan kasar, menata sedikit penampilannya, ia menguatkan diri untuk mengatakan hal penting ini pada Arvie. Maura ingin meluruskan segalanya, soal perasaan dan kesalahpahaman antara dirinya dengan pemuda itu. Mengesampingkan dadanya yang masih terasa sesak, Maura hanya ingin mencari jawaban yang bisa menjadi alasan bagi dirinya untuk tetap menetap di Indonesia, dan satu-satunya harapan itu adalah Arvie.

Sosok pemuda yang tanpa sadar telah ia cintai diam-diam.

Mobil yang dikendarainya berhenti di sebuah parkiran café tak jauh dari rumah orang tuanya. Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk sampai dan Maura lagi-lagi meringis mengetahui Arvie telah menelponnya berulang kali dengan belasan chat yang tidak sempat terbaca. Diantaranya pula ada dari Juan dan Kevin, namun Maura tak mau peduli.

Setelah memastikan wajahnya baik-baik saja, Maura dengan cekatan keluar dari dalam mobilnya lalu melangkah tegas memasuki cafe mewah bernuansa alam tersebut.

Tak menunggu waktu lama baginya untuk menemukan sosok Arvie yang melambai dari tempat duduknya. Ia duduk di tempat paling ujung, dekat dengan sebuah jendela kaca dan air mancur. Sedikit menjauh dari keramaian.

"Maaf atas keterlambatanku," Maura berucap sesopan mungkin seraya menarik kursinya untuk duduk.

Di depan sana Arvie memasang senyum seperti biasa, namun entah mengapa Maura merasa sedikit ganjal, "Vie?" ulangnya memastikan.

"Apa kau sendirian, kak? Di mana suami dan anakmu?"

Maura tersentak, tak menyangka ucapan itu keluar dari mulut Arvie. Ia tidak bodoh, meskipun Arvie mengatakannya dengan santai, jelas ada nada tersirat di dalamnya, apalagi dengan penekanan pada kata suami dan anak. Mengapa tidak menyebutnya Stev seperti biasa?

Maura berusaha membalas senyum dan ucapan itu tak kalah santai, "Tidak. Aku sendiri."

Pemuda dengan rambut sebahu terikat setengah itu mengangguk acuh, sejenak Maura sibuk meresapi wajah dan penampilannya yang lebih manly. Perpaduan turttle neck hitam dengan outer abu terasa pas di tubuh Arvie. Sangat berbeda dari yang biasanya ia lihat hanya memakai kemeja dan kaus oblong.

Arvie berdeham canggung yang langsung menarik atensi Maura dari wajahnya. Sejenak Maura merasa pipinya memanas, ia diam-diam merasa malu jika wajah dan penampilannya saat ini tidak sebanding dengan penampilan Arvie.

"Jadi, apa ada yang ingin kau katakan, Kak?"

Maura menarik nafas dalam, lalu menatap Arvie penuh tekad, "Aku ingin meminta maaf atas semua yang telah terjadi."

Arvie mengerjap lambat kemudian mengangguk, "Lalu?"

Maura diam-diam meremas kedua tangannya di bawah sana, lidahnya kelu melihat tatapan Arvie yang menyorotnya tidak biasa. Tatapannya penuh intimidasi dan terkesan menuntut.

"Aku tidak tahu sejak kapan dan apa alasannya, tetapi aku ingin mengatakan sejujurnya padamu. Maaf jika aku terlalu pengecut untuk menyadarinya sejak lama," Maura menggigit bibir bawahnya kuat, lalu berujar pelan, "Arvie, aku menci—"

"Kak Arvie!"

Keduanya tersentak saat seorang perempuan berjalan mendekat, "Lho, kamu ngapain di sini? Ini siapa?" ia bertanya penuh selidik menatap Maura dan Arvie bergantian.

Maura tidak mengenalnya, namun ia akui perempuan ini begitu muda dan menarik.

Arvie nampak mengulum bibirnya panik, "Ini Kak Maura," sahutnya enggan.

Gadis itu tersenyum manis lalu menyodorkan sebelah tangannya ke arah Maura, "Hai, Kak Maura. Aku Grace, pacarnya Kak Arvie."

Seketika Maura merasa tubuhnya limbung, ia menatap nanar tangan Grace serta wajah Arvie yang memucat di depan sana. Jantung dan kewarasannya serasa dihantam kuat dan Maura benci dirinya yang kini membeku tanpa suara.

Setelah mati-matian menelan rasa sesak di tenggorokan, Maura memaksakan bibirnya tersenyum. Dengan pandangan sedikit kabur, ia membalas jabat tangan Grace lalu menatap Arvie.

"Kami sudah selesai. Saya pamit sekarang. Permisi."

Maura bangkit lalu mengangguk sopan pada keduanya. Tubuhnya dengan cepat-cepat melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Lagi dan lagi, ia merasa telah menjadi wanita paling bodoh di dunia. Seharusnya ia tidak perlu sepercaya diri ini menemui Arvie dengan harapan pemuda itu menahannya untuk pergi, karena nyatanya tak ada seorang pun yang mau menerimanya. Tidak Kevin, tidak juga Arvie.

Maura menyeka pipinya kasar saat air mata sialan itu mulai berjatuhan seiring rasa sakit yang kian mendera batinnya. Ia hampir saja jatuh tersandung kakinya sendiri jika sebuah lengan tidak cekatan menahan tubuhnya dari belakang.

Maura menoleh, nafasnya menderu menemukan wajah Arvie yang menatapnya penuh cemas. Ia lantas menarik diri lalu melanjutkan langkahnya lagi. Tapi kali ini, Arvie menarik tangannya kuat dan membawa tubuhnya ke dalam pelukan hangat.

Maura tidak menolak. Hari ini dunianya hancur dan ia butuh pelukan. Maka dibiarkannya harum mint citrus pemuda itu memasuki indra penciumannya, meski hal itu membuat air matanya mengalir semakin deras.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya khawatir.

'Tidak, brengsek! Kau membuat hatiku hancur!'' Maura berteriak dalam hati. Ia mencengkram punggung Arvie erat, lalu mendongak, "Terima kasih atas segalanya. Kebaikanmu tidak akan pernah bisa kubalas, tapi aku berdoa semoga kau selalu bahagia," ucapnya tersenyum pedih.

Maura melepaskan pelukan Arvie kemudian mengangguk yakin, "Aku akan baik-baik saja," ia hendak berbalik namun Arvie kembali mencekal tangannya erat.

"Kak, you should know if you call for me... i'm right there."

Maura menggigit bibir bawahnya kuat, mengangguk tanpa menoleh, "Thanks."

Setelahnya Maura merasakan cengkraman Arvie melemah, membuat dirinya tanpa menoleh lagi mulai memasuki mobil lalu beranjak pergi. Membiarkan Arvie berdiri mematung di belakang sana memandangi kepergiannya dengan nanar.

Menepikan mobilnya di pinggir jalan, Maura dengan terisak mendiall sebuah nomor. Tak lama panggilan itu terangkat, belum sempat sosok di seberang sana berucap, Maura langsung menyelanya dengan tidak sabar.

"Aku setuju, kak! Bawa aku dan Stev bersamamu ke Kanada!"

Tut.

Panggilan diputus sepihak. Maura menyandarkan keningnya di atas kemudi, kedua matanya memanas.

"Selamat tinggal, Arvie."


TBC

PUTRIANY R

Halo guys, buat kalian yang suka sama cerita Right There boleh banget mampir ke akun instagram; @poetrylatte [link ada di bioku] karena di sana bakal banyak info menarik tentang dunia Arvie, Maura dan Stev.

Jangan lupa follow! ^^

Right ThereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang