[21] Stev dan Pasar Malam

796 45 6
                                    

"Pipi, icu apa?"

Arvie mengikuti arah tunjuk Stev seraya memelankan laju motornya, di sampingnya kini nampak berdiri tenda-tenda merah serta aneka permainan meriah. Ada sebuah bianglala besar berwarna emas, sebuah perahu besar yang bergerak ke depan dan ke belakang hingga sebuah tenda hitam megah yang dihiasi gambar hantu menyeramkan. 

Arvie tersenyum, "Itu pasar malam."

Stev mendongak penasaran, "Pacal malam tu apa?"

Arvie menghela nafas lalu menepikan motornya, "Pasar malam itu pasar yang isinya banyak hiburan kayak naik wahana, masuk rumah hantu terus banyak tukang mainan sama makanan juga. Pokoknya pasar malam itu isinya seru-seruan! Pipi dulu sering banget main ke pasar malam."

Arvie berucap semangat kala mengenang masa lalunya, di mana setiap ada pasar malam maka ia akan mendatanginya tanpa peduli jarak dan waktu, walaupun sepulangnya nanti ia akan habis diamuk oleh kedua orang tuanya.

"Hngg, celu cekali. Stev belum pelnah ke pacal malam," sahut Stev dengan kedua mata berbinar-binar menatap bianglala yang berputar perlahan di depan sana.

Senyum Arvie memudar, ia menatap Stev lamat-lamat. Anak ini entah mengapa selalu tampak polos dan menyedihkan, dimulai dari tidak memiliki album foto, tidak memiliki ayah, kerap dibully oleh teman-temannya lalu tidak pernah ke pasar malam. 

"Stev, mau ke pasar malam?"

Arvie meringis begitu Stev menoleh cepat dan menatapnya penuh harap, "Mau, Pipi! Ayo, pelgi pacal malam!"

"Tapi sekarang masih sore nanti malam aja, ya?"

Stev menggembungkan pipi, "Memangna kenapa kalo cekalang?"

Arvie terkekeh, "Namanya juga pasar malam! Bukanya harus malam-malam. Lihat tuh mereka aja masih siap-siap."

Stev menghembuskan nafas kecewa, "Yacudah."

Arvie mengusak rambut bocah itu gemas, "Good, kita makan dulu baru abis itu caw ke pasar malam," hiburnya. 

Sesampainya di depan rumah, Arvie menurunkan Stev lalu melepas helm serta sepatunya. Ia mengikuti langkah kecil Stev yang berlari memasuki rumahnya seraya berteriak memanggil nama ibunya.

"Oma!"

Bu Ningsih yang tengah menikmati siaran televisi menoleh kaget lalu tersenyum bingung, "Lho, Stev. Pipi yang jemput kamu?"

Stev berselonjor di atas karpet bulu lalu mengangguk polos. 

Wanita itu lantas mendelik aneh pada sang putra, lalu berujar santai, "Jadi hal yang penting itu jemput Stev, ya?"

Arvie hanya menggaruk lehernya kikuk, "Ya--yaudah, Arvie mau mandi dulu."

Bu Ningsih mengangguk, "Stev, mau makan?"

Stev yang sejak tadi memperhatikan keduanya lantas menggeleng, "Mau mandi!"

"Bagus, deh. Anak nakal kayak kamu pasti bau asem," sebuah suara terdengar sayup-sayup dari arah dapur. Stev mengerut tidak suka kala melihat Karin yang tersenyum mengejek padanya sambil membawa piring berisi potongan buah apel.

"Stev ndak nakal!" pekik Stev kesal. Tubuh mungilnya bahkan sudah berdiri dan menghadang jalan Karin.

Arvie yang melihat itu sontak mengangkat tubuh Stev. 

Karin terkekeh, "Terus, anak yang kemarin bikin heboh satu kampus sampe bikin orang lain masuk rumah sakit namanya apa kalo bukan anak nakal?" ia berucap dengan nada santai namun entah kenapa wajahnya membuat Stev meronta-ronta kesal.

Right ThereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang