[46] Agenda Move On

450 27 0
                                    

"Arvie pulang!"

Pintu dibuka lalu ditutup dengan kasar. Arvie dengan rambut kusut melangkah lebar menuju ruangan di mana suara percakapan dua wanita terdengar. Langkahnya semakin lebar saat melihat sosok yang dicarinya kini tengah berada di balik pantry bersama sang ibu.

Sret!

"Aw, Vie! Ada apa?"

Karin yang sedang asyik membuat adonan kue mengerjap terkejut ketika Arvie tanpa permisi menarik lengannya keluar dari area dapur.

"Apa maksud lo?" tanya Arvie tajam.

Karin menelan ludahnya gugup, sejenak merasa takut akan aura gelap yang dikeluarkan oleh sosok tampan yang dicintainya itu.

"Vie, apa maksud--"

"Apa maksud lo nyebar gosip kalo kita pacaran?"

Nafas Arvie tak beraturan, wajahnya memerah dan mengeras kaku dengan rambut yang acak-acakan. Karin semakin bergetar di tempat. Ia tidak pernah menghadapi Arvie dalam mode seperti ini.

"Arvie! Ada apa, nak?"

Bu Ningsih dengan apron di tubuhnya berlari tergopoh-gopoh dan berusaha melepaskan cengkraman Arvie pada tangan Karin. Ia sedikit terkejut melihat raut sang putra yang nampak menahan emosi.

"Ibu tanya aja sama cewek ini! Kenapa dia berani banget ngaku ke orang-orang kalau Arvie itu pacarnya dia! Bukannya udah pernah gue bilang kalau lo di mata itu gue gak lebih dari seorang adik. Tapi kenapa lo tetap senekat itu?" Arvie berseru geram, menatap Karin seolah hendak menelannya.

"Vie—" Karin hendak menangis.

"Diam lo! Gue udah cukup sabar ngadepin lo selama ini, tapi gue gak nyangka kesabaran gue lo balas dengan tindakan bodoh!"

Arvie menghempas tangan Karin dengan nafas menderu, "Gue kecewa sama lo, Kar."

Setelah itu tubuh tingginya melangkah pergi menaiki tangga menuju kamarnya disusul suara pintu yang ditutup dengan kasar.

"Kenapa sih, Vie. Kenapa bukan gue yang lo suka," Karin berbisik sendu seraya mengusap kedua pipinya yang basah.

*

Arvie benar-benar hendak merealisasikan niatnya untuk pindah dari rumahnya dan tinggal di kosan. Zidan dan Revan bahkan ikut membantu mencarikannya kamar kosan yang kosong di sekitar kampus. Selain karena agenda moveon-nya dari sang tetangga, tingkah Karin yang menyebalkan juga semakin membulatkan tekadnya untuk minggat. Namun sebelum itu, Arvie mau tak mau harus berbicara empat mata dengan sang ayah.

"Kenapa?"

Pertanyaan singkat bernada dingin menyentak Arvie dari acara melamunnya. Saat ini ia dan sang ayah tengah duduk bersisian di teras menikmati suasana malam yang kian sepi.

"Arvie ingin hidup mandiri," sahutnya tak kalah dingin.

Hening.

Sejenak Arvie merasa heran bisa-bisanya ia dan sang ayah berperang dingin seperti ini—mengingat sang ayah kerap mendukungnya dalam segala hal. Apa mungkin keinginannya untuk tinggal di kosan juga akan ditolak mentah-mentah? Sama seperti ketika pria tua itu menolak jika ia menjalin hubungan dengan Maura?

"Sebenarnya kamu tahu tidak arti dari mandiri itu apa?"

Arvie menoleh saat mendengar kekehan keluar dari mulut sang ayah. Ia melanjutkan, "Apa bedanya kamu tinggal di sini dengan tinggal di kosan? Kau masih tetap bergantung pada ayah."

Arvie serasa dipukul telak, ia terdiam memandang kosong rumah Maura yang akhir-akhir ini terlihat begitu sepi. Meresapi perkataan sang ayah dan mencoba untuk mengontrol diri.

Right ThereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang