Stev mengerjap bingung pada sosok pria di sampingnya. Otak kecilnya bertanya-tanya mengapa Om Hantu alias Pipi-nya itu sejak tadi hening tanpa suara. Padahal Stev telah mengganggunya seperti; menekan asal keyboard laptopnya, menarik ujung kaos yang dipakainya hingga menjambak rambut gondrong miliknya. Namun anehnya, tingkah nakalnya itu tidak memicu reaksi berarti dari Arvie.
Arvie hanya akan menyingkirkan jemari Stev yang beberapa kali bertengger di laptopnya, menyingkirkan tangan kecil yang menarik-narik ujung kaosnya, lalu mengibaskan tangan Stev yang menjambak rambutnya.
Biasanya, pada tingkah yang terakhir, Arvie akan benar-benar marah dan berakhir memberi bocah itu pelajaran.
Tetapi saat ini berbeda, Arvie merasa tenaganya hilang entah kemana. Hati kecilnya tidak bisa menerima kejadian pagi tadi begitu saja. Rasa panas itu bahkan masih terasa membakar dadanya, padahal ia tak berhak sama sekali merasakan perasaan menyebalkan ini.
Maura pergi bersama suaminya. Wanita cantik dengan harum parfum floral itu meninggalkannya begitu saja bersama bocah tengik ini. Mereka pasti ingin berkencan tanpa mendapatkan gangguan dari Stev. Saat ini mungkin saja keduanya tengah berada di tempat-tempat romantis sambil tertawa bahagia.
"Ck, stop it!" Arvie berdecak seraya mengacak-acak rambutnya frustasi.
Ini membuatnya gila! Berdekatan dengan Maura membuatnya gila, namun berjauhan dengan Maura berkali-kali lipat membuatnya gila!
"Uh, Pipi jeyek cekali," Stev berucap enteng di sampingnya.
Keduanya kini berada di kamar Arvie, dengan pria itu yang duduk di kasur sambil memangku laptop dan Stev terduduk diam di sampingnya. Sebenarnya alasan mengerjakan tugas pada sang ibu adalah pengalihan isu, ia tidak bisa benar-benar fokus, ditambah kehadiran tuyul jadi-jadian di sampingnya.
"Diam lo bocil. Sana keluar!"
Arvie melirik malas pada senyum di bibir Stev, anak ini beberapa saat lalu memaksa untuk memasuki kamarnya. Ia selalu membuntuti kemana pun Arvie pergi, padahal di bawah sana sang ibu telah memotong cake pemberian Maura dan menyajikannya di ruang TV. Tapi nyatanya Stev malah tetap berakhir di sini.
"Tidak mau. Stev mau di cini!"
Arvie menghela nafas panjang, ia lantas menutup laptop di pangkuannya lalu terdiam saat menyadari sesuatu. Arvie pun menoleh pada Stev yang kini berbaring nyaman di sampingnya sambil bergerak-gerak.
"Eh, bocil. Kenapa tadi lo gak ikut mommy sama papi, lo?"
Arvie mendorong ke samping tubuh mungil Stev dengan sebelah tangannya dan ikut berbaring di sebelahnya. Stev nampak berpikir sambil menatap langit-langit kamar, "Umm, papi tu capa?" tanyanya balik pada Arvie.
Kedua mata bulatnya mengerjap polos penuh tanya, membuat Arvie mengerutkan kening tidak mengerti.
"Ya, bokap lo. Eh, emang lo manggilnya apa? Ayah? Bapak? Daddy?" Arvie memiringkan tubuhnya menjadi menghadap Stev dengan menumpukan kepala di atas siku yang terlipat.
Mendengar kalimat dari bibir Arvie, Stev lantas membuang pandangannya ke segala arah. Ia menghindari tatapan Arvie, bahkan kini tubuh kecilnya membelakangi Arvie.
"Lah, kok gak jawab?"
Tangan Arvie yang bebas memaksa anak itu berbalik dan menatapnya. Namun begitu Stev yang sedikit memberontak telah menghadapnya, Arvie mencelos kaget melihat kedua mata Stev yang memerah dan berkaca-kaca. Bibir mungil itu bahkan bergetar menahan tangis.
"Stev?"
Dengan rasa bersalah, ia menarik tubuh Stev dan mendekapnya. Tangan besar Arvie mengusap punggung kecil itu beberapa kali, hingga akhirnya Stev bersuara dengan pelan.
"Pipi, tidak boleh bicala cepelti itu nanti mommy cedih," cicitnya yang sedikit teredam di dada Arvie.
Pria itu mengernyit tidak mengerti, mengapa Maura harus sedih? Mengapa juga Stev menangis? Ia hanya bertanya soal ayahnya yang ia lihat pagi tadi.
"Stev cuma puna, mommy. Stev tidak puna daddy, Pipi."
Deg.
Usapan Arvie pada punggung Stev terhenti seketika. Apa mungkin Maura adalah seorang single parent? Jika ia, lalu laki-laki itu siapa? Bukankah orang tuanya sendiri waktu itu yang mengatakan Maura telah bersuami?
"Tapi Pipi janan bilang, mommyna?"
Arvie tertegun kala Stev kini menatapnya penuh harap. Ia hanya mampu mengangguk pelan, otaknya kini tengah menyimpulkan beberapa hal.
Ia kira suami Maura adalah sosok sibuk yang bekerja di luar kota, hingga akhirnya Maura terkesan mengurusi Stev seorang diri. Namun jika benar seperti apa yang dikatakan oleh Stev, maka Arvie teramat takjub pada wanita itu. Pantas saja ia bekerja keras untuk Stev, menyayangi anak itu seolah ia adalah berlian berharga, lantas siapa gerangan pria yang bersamanya saat ini?
"Stev, siapa pria yang menjemput mommy pagi tadi?"
Arvie mengusap sisa air mata di pipi Stev, hingga anak itu menatapnya lalu berujar, "Uncle Kevin."
Seperti meminum air es ditengah teriknya matahari, Arvie lega luar biasa. Ia bahkan menghembuskan nafasnya kuat, seolah melepaskan batu yang mengganjal kerongkongannya sejak tadi. Arvie bahkan tidak sadar telah mendekap Stev lebih erat.
Dengan senyuman lebar yang tak terlihat oleh Stev, Arvie kembali berucap mantap, "Stev gak boleh sedih ya. Pipi di sini."
Ada perasaan hangat saat Arvie menyebut dirinya dengan sebutan tersebut untuk pertama kali. Namun nampaknya bocah itu juga menyukainya, terbukti dari tangan gemuk Stev yang kini membalas pelukannya tak kalah erat.
"Oce, Pipi."
Arvie yang seolah telah mendapatkan tenaganya kembali, tiba-tiba bangkit melepaskan pelukan Stev. Ia menatap jahil pada bocah itu yang kini memandangnya kebingungan.
"Siapa yang sampe ruang tengah duluan dia yang menang!"
Tubuh Arvie lantas berdiri dan berlagak akan berlari kencang hingga Stev yang tertidur dengan tergopoh-gopoh turun dan berlari melewatinya. Arvie tersenyum senang sembari menutup pintu kamar.
"Pipi, Stev menang!" pekikan di bawah sana terdengar menggema.
Arvie menyahut dari posisinya, "Stev curang!"
Ia sendiri bahkan sadar telah mengganti kebiasaan lo-gue nya pada Stev, dan mengganti dengan menyebut nama anak itu.
Entahlah, Arvie rasa ini lebih baik, bukankah ia punya kesempatan?
*
Di sebuah toko mainan pada satu mall besar, Maura nampak tengah berdiri di hadapan tumpukan bola berbagai warna. Ia hendak membelikan Stev bola yang baru, tentunya yang lebih ringan.
Maura tidak bodoh jika bola anaknya pagi tadi telah menyakiti orang lain. Jadi di sinilah ia berada, dengan Kevin yang juga turut ada di sampingnya.
"Sudah? Hanya bola?" Kevin bertanya saat Maura telah memilih bola pilihannya.
Sebuah bola basket berwarna biru dengan ukuran yang lebih kecil beserta ringnya. Ia pun mengangguk dan mendahului langkah Kevin sebelum pandangannya tertarik pada sesuatu.
Sebuah karet rambut berwarna hitam yang indah. Bentuknya serupa gelang karet, namun pada bungkusnya tertera jika benda itu dapat juga digunakan sebagai ikat rambut.
Tanpa berkata apapun, Maura mengambil benda itu dan memasukannya pada keranjang.
Tepat saat tubuh ramping berbalut jumpsuit pinknya melangkah menuju kasir, Kevin menelisik rak yang baru saja didatangi oleh Maura. Alisnya lagi-lagi mengkerut,
"Bukankah ini lebih cocok untuk laki-laki?"
TBC
PUTRIANY R
Halo guys, buat kalian yang suka sama cerita Right There boleh banget mampir ke akun instagram; @poetrylatte karena di sana bakal banyak info tentang dunia Arvie, Maura dan Stev.
Jangan lupa follow! ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Right There
RomanceArvie Jonathan (23) mahasiswa populer prodi ilkom mendadak memiliki musuh di seberang rumahnya. Bukan tanpa sebab ia membenci anak laki-laki yang dijulukinya tuyul itu, selain karena pertemuan keduanya yang tidak bisa dibilang baik, Arvie juga tidak...