Maura keluar dari mobilnya dengan hati-hati, Stev masih setia berada di gendongan dan memeluknya erat bak bayi koala. Untungnya kunci gerbang rumahnya kali ini berada padanya, lagipula usai bertemu dengan Arini beberapa waktu lalu, wanita itu memberikan banyak usulan termasuk meletakkan Stev di daycare atau menyewa seorang babysitter. Ya, walau untuk usulan terakhir membuat Maura agak cemas sekaligus tidak yakin.
"A—ayo, masuklah."
Dengan sedikit gugup, Maura berujar pada Juan yang nampak sibuk mengeluarkan sesuatu dari bagasi mobilnya.
"Masuklah dulu, aku akan menyusul," sahutnya tegas.
Maura mengangguk lalu membawa Stev yang menggeliat di pelukannya ke dalam rumah, ia merebahkan tubuhnya yang linu di atas sofa. Tak lama terdengar ringisan Stev, anak itu mengusak kedua matanya lalu menguap kecil.
"Mommy, om tu kenapa ikut pulang?" lirihnya kesal.
Maura tersenyum kecil, ia mengecup rambut Stev beberapa kali, "Pangilnya daddy, sayang. Daddy 'kan baik dia kesini mau rayakan ulang tahun Stev sama kita. Tuh lihat daddy bawa apa," hiburnya sambil menatap kedatangan Juan dari arah pintu yang membawa sebuah kotak besar.
"Happy birthday, Stev!"
Layaknya anak kecil pada umumnya, Stev terlonjak senang begitu kotak besar dengan pita biru diletakkan oleh Juan di atas meja. Tak lama pria itu kembali keluar untuk membawa tumpukan kotak lain yang jumlahnya tak kalah banyak.
"Uwah! Ni cemua untuk Stev?" tanyanya girang.
Maura juga diam-diam takjub melihat Juan yang benar-benar telah mempersiapkan segalanya. Pria itu menghilang sejenak usai menerima panggilan lalu kembali lagi dengan membawa serta sebuah kue mewah super besar dengan lilin angka enam yang menyala di atasnya.
Maura sontak membantu pria itu dengan kuenya dan meletakannya di atas meja, usai saling memberi kode lewat tatapan mata, keduanya mulai bersama-sama menyanyikan lagu ulang tahun untuk Stev. Tak ayal hal itu membuat Stev kecil melompat-lompat dengan binar ceria.
"Ayo, tiup lilinnya satu .... dua .... tiga!"
Wush!
"Yeay!"
Ketiganya bersorak senang, rasa penat yang sempat melanda Maura kini menguap hilang begitu saja saat melihat senyum di bibir Stev. Bergerak memotong sedikit sisi kue untuk sang putra, Maura tak menghindar saat Juan merangkul bahunya akrab.
Juan nampak mulai mencuri hati putra kecilnya sedikit demi sedikit, dimulai menuruti permintaan Stev dengan turut memakai topi kerucut di kepala, meniup terompet, bernyanyi hingga membantunya membuka beberapa kado.
"Stev senang?"
Juan bertanya dengan senyuman lebar yang membuat anak itu langsung melirik sang ibu. Ia menatap Maura bingung, seolah bertanya mengenai sang Pipi yang tidak nampak di sekitarnya, padahal ini hari ulang tahunnya.
Namun mendapati senyum dan anggukan dari Maura, Stev kecil sontak menelan pertanyaannya dan mengangguk pelan. Diam-diam kedua mata bulatnya mengedar ke sekeliling dan berakhir menatap pintu rumahnya yang terbuka lebar dengan sorot sendu.
'Pipi tida datang,' batinnya sedih.
Tanpa ketiganya ketahui, di depan gerbang sana, Arvie dengan penampilan menyedihkan muncul seraya menenteng dua paperbag besar. Wajah kusutnya mendadak lesu begitu mendengar tawa nyaring Stev yang bercampur dengan tawa seorang pria dari dalam rumah Maura. Cengkraman Arvie pada paperbag-nya mengerat, sambil menelisik sekitar ia dengan berani membuka sedikit gerbang yang tak terkunci tersebut untuk masuk dan mengintip keadaan Stev.
Karena sejujurnya, Arvie merasa amat bersalah telah membuat anak itu terluka hingga pingsan, pukulannya pasti menyakitkan.
"Stev, masih ingin hadiah lagi dari daddy?"
"Apa? Boneka minion?"
"Made in Indonesia atau Amerika? Daddy bisa membawakan boneka aslinya langsung, atau Stev mau ikut saja dengan daddy ke Amerika?"
Arvie tersenyum mendengar suara tawa Stev, bocah itu nampak telah membaik walau lebam masih terlihat jelas di pipinya. Kedua matanya beredar lagi pada sosok wanita yang berada dalam rangkulan pria siang tadi. Senyumnya sedikit memudar, ia memandang ketiganya nanar lalu mengangguk paham dan beranjak pergi dari tempatnya mengintip.
Namun sebelum menutup gerbang tersebut, Arvie dengan sengaja menoleh sejenak ke belakang. Tak bisa dipungkiri hatinya remuk, namun ia tak mau egois. Maura dan Stev berhak mendapatkan kebahagiaan, dan mungkin saja kehadirannya selama ini di antara mereka hanya menjadi duri penghalang. Pria itu jelas berhak atas segalanya dan jelas memiliki segalanya dibanding dirinya.
Arvie terkekeh pedih, "Selamat ulang tahun, tuyul minion."
Setelahnya ia benar-benar angkat kaki menuju rumahnya, ia bersyukur begitu membuka pintu tak mendapati siapapun kecuali Karin yang sibuk memakan camilan di depan televisi.
"Gue pulang," lirihnya masa bodoh.
Namun Karin begitu peka, perempuan yang dibalut baju tidur bergambar panda itu membelakak lebar menatap penampilannya dari atas hingga bawah.
"Vie! Elo kenapa?"
Dibuangnya snack-snack yang sebelumnya ia genggam, wanita itu dengan cepat berlari menuju Arvie kemudian menangkup wajahnya khawatir. Kedua matanya yang sedikit sipit itu berkaca-kaca, "Elo berantem?"
Arvie enggan menjawab, ia melepaskan tangan Karin pelan dari wajahnya. Hari ini dunianya terasa hancur, hingga Arvie bahkan enggan untuk berbicara terlalu banyak.
"Elo boleh gak ngomong apa-apa tapi biarin gue obatin lo dulu, Vie," ujar Karin bersikukuh.
Tubuhnya yang hanya sebatas dada Arvie itu lantas mendorong pemuda itu untuk duduk di atas sofa. Sejenak Karin menghilang lalu kembali dengan kotak P3K di tangannya serta baskom kecil berisi air hangat dan sebuah saputangan.
"Diem tahan, ya," Tanpa menanyakan pendapat Arvie, Karin dengan telaten membersihkan luka serta mengompres beberapa lebam pada wajah tampan di depannya.
"Ngeliat lo kayak gini bikin gue dejavu tau gak? Dulu lo juga pernah luka-luka kayak begini karena ngelindungin gue dari kakak kelas yang maksa gue buat jadi pacarnya," Arvie mendengarkan penuturan Karin tanpa suara, kedua obsidiannya menatap wajah cantik di hadapannya lamat-lamat.
"Tapi waktu itu lo yang ngerengek ke gue minta buat obatin, kalo sekarang lo malah ogah-ogahan gue obatin. Time flies so fast ya, Vie?" Karin memundurkan wajahnya kala beberapa luka di wajah Arvie telah tertutupi plester dengan sempurna. Ia tersenyum mendapati pemuda itu yang menyorotnya tanpa ekspresi, entah mendengar ucapannya atau karena melamun.
Merasakan situasi berubah canggung, Karin sigap mulai merapikan peralatan P3K-nya. Namun, tubuhnya yang hendak bangkit terhenti ketika Arvie menarik sebelah tangannya untuk kembali duduk lalu mendekapnya dengan erat.
Karin terkejut, tetapi memilih untuk diam dan membalas pelukan itu tak kalah eratnya.
"Thanks," bisik Arvie di pundaknya.
Untuk saat ini Arvie hanya menginginkan sebuah pelukan, walau terdengar cheesy, namun ia tak mampu lagi menahan rasa kecewanya. Pelukan ini tak senyaman pelukan Maura, berdekatan dengan Karin tak membuatnya berdegup hebat seperti saat bersama Maura. Tanpa ia sadari, hatinya telah berharap terlalu jauh.
Arvie juga harus menerima kenyataan pahit bahwa hatinya kecewa. Kecewa pada Maura yang lebih memilih pria itu dibanding dirinya. Walau ditepis ribuan kali, Arvie tidak bisa berbohong bahwa ia patah hati. Ia tidak pernah bisa merelakan Maura dan Stev-nya menjadi milik orang lain.
Arvie patah hati pada seseorang yang bahkan belum resmi menjadi miliknya.
TBC
PUTRIANY R
Halo guys, buat kalian yang suka sama cerita Right There boleh banget mampir ke akun instagram; @poetrylatte [link ada di bioku] karena di sana bakal banyak info menarik tentang dunia Arvie, Maura dan Stev.
Jangan lupa follow! ^^

KAMU SEDANG MEMBACA
Right There
Roman d'amourArvie Jonathan (23) mahasiswa populer prodi ilkom mendadak memiliki musuh di seberang rumahnya. Bukan tanpa sebab ia membenci anak laki-laki yang dijulukinya tuyul itu, selain karena pertemuan keduanya yang tidak bisa dibilang baik, Arvie juga tidak...