Stev kecil mulai mengerjapkan kedua matanya perlahan. Manik bulat itu menyipit begitu cahaya lampu terang langsung menyinarinya, namun tak lama bibir mungilnya terisak begitu sebelah pipinya berdenyut nyeri.
Dengan berkaca-kaca, ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Bibirnya bergetar lirih,
"Hiks, mommy. Hiks, Pipi."
Rupanya isakan tersebut mengganggu sosok tegap yang terlelap di sebuah sofa tak jauh dari ranjangnya. Tergesa-gesa pria itu menghampiri Stev dengan raut cemas. Namun melihat keberadaannya justru membuat Stev ketakutan. Anak itu terisak semakin keras dan mencoba menghindari sentuhannya.
"Pelgi! Stev tida mau bicala dengan olang asing nanti Pipi malah lagi! Hiks, Pipi!"
Juan menghela nafas pelan, tangan besarnya masih mencoba meraih kepala Stev untuk mengusapnya lembut.
"Hei, ini daddy, Stev," ungkapnya sendu.
Stev melotot tidak terima, ia menggeleng berkali-kali, "Stev tida puna Daddy! Stev puna Pipi dan mommy! Om jahat pelgi!" pekiknya nyaring.
Juan bergeming, ia menatap Stev lekat-lekat tanpa suara. Sejenak hanya suara isakan Stev yang memenuhi kamar rawat itu hingga membuat Juan muak setengah mati. Ia lantas merendahkan tubuhnya agar bisa bersitatap langsung dengan sang putra. Bibir tipisnya tersenyum getir.
"Sekarang Stev punya daddy, nak. Ini daddy. Daddy akan selalu bersama Stev dan menjaga Mommy mulai sekarang," ungkapnya tulus.
Stev terdiam begitu Juan meraih jemarinya lalu mengecupnya pelan, pria itu juga menatapnya teduh seperti sang ibu.
"Ta—tapi kenapa pukul Pipi, hiks? Pipi di mana?" cicit Stev sedih, otaknya terus bertanya-tanya mengenai keadaan sang Pipi yang tak kunjung nampak di matanya.
Juan berusaha mengalihkan pertanyaan Stev, ia mengelus sebelah pipi tembam Stev yang membiru dengan hati-hati, "Pipi Stev masih sakit?"
Stev mengangguk, bibirnya mulai bergetar begitu rasa linu di pipinya kembali menyerang, ia mulai menangis terisak, "Hiks, mommy cakit. Hiks, Pipi."
Lagi-lagi Stev memanggil sosok Pipi-nya, membuat Juan diam-diam mendengus keras. Bagaimana mungkin pelayan café miskin itu bisa begitu dekat dengan putranya? Padahal jelas-jelas ia ayah biologisnya dan lagi, apa itu sebutan Pipi?
Juan meletakkan kedua tangannya di dalam kantung celana bahannya, diam-diam mengepal erat, ia jelas tidak akan tinggal diam.
Klek!
Maura membuka pintu ruangan dengan raut lelah, ia melirik ke arah ranjang Stev lalu senyumnya terbit menemukan sang putra yang telah membuka mata. Dengan langkah cepat, Maura menghampiri sosok kecil yang tengah menangis tersedu-sedu itu.
"Stev gapapa, sayang?"
Stev mengerjap terkejut, pupilnya membesar menemukan keberadaan sang ibu hingga tangisnya bertambah keras.
Kedua tangannya terangkat di udara, "Mommy!"
Maura sigap merengkuh Stev erat, ia membawa Stev di gendongannya. Tangannya telaten mengusap punggung anak itu yang bergetar sambil terus melafalkan kalimat-kalimat penenang. Maura tahu Stev pasti terkejut dan ketakutan saat membuka mata tak menemukan keberadaannya, sebaliknya ia malah menemukan sosok Juan di sekitarnya. Ia tahu benar bahwa Stev bukanlah sosok yang mudah menerima kehadiran orang baru, ya, pengecualian untuk oknum bernama Arvie.
"Sudah tenang?" tanya Maura begitu isakan Stev reda perlahan-lahan. Stev tak menjawab, ia semakin merapatkan pelukannya pada tubuh sang ibu seolah tak ingin melepasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Right There
RomanceArvie Jonathan (23) mahasiswa populer prodi ilkom mendadak memiliki musuh di seberang rumahnya. Bukan tanpa sebab ia membenci anak laki-laki yang dijulukinya tuyul itu, selain karena pertemuan keduanya yang tidak bisa dibilang baik, Arvie juga tidak...