[35] Melawan Restu?

595 38 0
                                    

"Holy shit!"

Seorang pria dengan kemeja mahal mendudukkan tubuhnya dengan kasar pada sofa di sebuah ruangan mewah. Ia menundukkan kepala, menekan keningnya pada ujung smartphone canggih yang layarnya sejak tadi menunjukkan panggilan tertolak.

Kedua matanya memejam erat, ia tidak bisa tertidur dengan nyenyak sejak beberapa hari yang lalu. Tepatnya saat panggilannya diangkat untuk pertama kali oleh sosok yang ia rindukan setengah mati. Saat suara yang dulu sekali kerap mengisi hari-harinya kembali mengalun, namun bukan hanya itu, telinganya tidak tuli untuk mendengar suara pekikan khas anak-anak yang menyebut sosok itu 'mommy' dengan ceria.

Saat itu juga ia merasa kehabisan nafas, mungkinkah suara itu adalah anak yang dahulu mati-matian ia benci. Namun kali ini tidak, ia berniat untuk memperbaiki segalanya. Rasa bencinya kini menguap hilang seiring berjalannya waktu hingga meninggalkan rasa rindu yang menggebu-gebu.

"I really miss you," gumamnya pelan.

Tak lama ia segera bangkit berdiri lalu menyambar jasnya, jemari panjangnya mengetikkan sesuatu lalu menempelkan benda persegi tersebut pada telinganya.

"Frans, can you help me?"

*

Di sisi lain, sudah hampir sebulan Arvie resmi bekerja sebagai pelayan café. Ia menikmati waktunya bekerja juga menikmati hari-hari manis yang diam-diam ia lalui bersama Maura dan Stev. Tentang Karin, ia tidak mau ambil pusing akan hal itu. Perempuan itu masih tinggal di rumahnya dan terkadang merecokinya di malam hari entah untuk hal-hal penting atau tidak sama sekali.

"Bang, martabaknya dua ya."

Arvie menghentikam motornya di sebuah gerobak martabak pinggir jalan sambil menaikkan kaca helmnya.

"Manis apa asin, mas?" tanya si penjual yang membuat Arvie sontak mengeluarkan uang dari kantong celana levisnya. Hanya tersisa satu lembar merah, itu pun harus ia bagi untuk biaya bensin motornya esok hari.

Arvie meringis kecil lalu mendongak pada pria setengah baya di depannya, "Manis dua, Pak. Tapi yang murah aja."

"Oke, mas."

Arvie tersenyum seraya mengeratkan jaketnya, angin malam ini terasa begitu dingin seiring musim penghujan yang telah tiba. Usai menunggu selama beberapa menit, akhirnya martabak itu kini berada di tangannya. Setelah menerima kembalian, Arvie kembali menjalankan motornya.

Sebenarnya ia bisa saja membeli yang lebih mahal dengan menarik uang tunai dari atm terdekat, tapi Arvie tidak ingin melakukannya. Entahlah, menurut Arvie rasanya lebih menyenangkan ketika membelikan sesuatu untuk orang spesial menggunakan uang hasil jerih payahnya sendiri.

Senyum di wajah penat Arvie meluntur begitu perhatiannya teralihkan pada sebuah toko kue di pinggir jalan. Toko kue yang pernah Stev tunjuk karena tertarik pada kue ulang tahun berbentuk minion besar.

Cengkraman Arvie pada stang motornya mengerat, ia tersenyum yakin dan berjanji dalam hati akan membelikan Stev kue tersebut saat bocah itu berulang tahun. Omong-omong ia harus menanyakan kapan Stev berulang tahun pada Maura supaya dirinya bisa bersiap-siap. Lagipula kabar baiknya, gaji pertamanya akan segera cair dalam waktu dekat.

Arvie menghentikan motornya di depan rumah Maura yang tertutup. Diam-diam ia melirik ke arah rumahnya sendiri demi memastikan tak ada siapa pun yang melihat tindakannya ini.

Arvie lantas meraih ponselnya di dalam saku celana lalu melakukan miss call pada nomor Maura.

Tak butuh waktu lama pintu utama rumah minimalis itu terbuka. Maura dengan baju tidur berwarna biru muda keluar dan menghampiri Arvie di balik gerbang rumahnya yang terkunci. Wanita itu menggeleng pelan kala menemukan pemuda itu lagi-lagi berdiri di depan rumahnya demi memberikan makanan yang dibawanya.

Right ThereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang