Part 22 - Mie dan Hujan

18.6K 1.8K 36
                                    

Aquinsha langsung duduk bersandar di sofa yang begitu empuk. Mulai mengamati tempat tinggalnya tersebut. Dari laporan Rani dan Leia jika tempat ini sesuai dengan yang ia inginkan. Pun dua wanita itu telah membeli beberapa barang yang belum ada di penthouse tersebut. Begitupun dengan berbagai makanan. Juga beberapa pakaian, tas, sepatu serta printilan lainnya telah disusun rapi di wardrobe room-nya.

Mempercayakan semua kebutuhannya pada dua wanita itu karena memang keduanya sangat bisa diandalkan.

Berhenti mengamati sekitar, ia beralih menatap Radi yang membawa tas serta jaketnya. Pria itu meletakkan dua benda tersebut di atas sofa. Kemudian membalas tatapannya. "Kalau begitu saya ..."

"Apa tugas kamu sebagai bodyguard?" Wanita itu bersidekap mendongak menatap Radi yang langsung mengangguk paham. Pria itu pun mulai memeriksa hunian yang memiliki dua lantai tersebut. Meski Aquinsha sangat tau dan sangat mustahil jika ada penyusup masuk. Apalagi akses menuju ke sini menggunakan lift khusus. Yang artinya, hanya dia serta orang-orang kepercayaannya yang bisa naik ke lantai lima puluh tersebut.

Sepeninggalan Radi yang mulai mengecek lantai atas, ia segera beranjak ke area pantry. Membuka kulkas berukuran besar tersebut dan isinya penuh. Aquinsha meraih satu buah apel, kemudian menutup pintu kulkas. Ia pun mengambil pisau dan mulai mengupas kulit apel.

Mendengar langkah kaki, ia refleks mengalihkan tatapannya sehingga begitu ceroboh membuat pisau tersebut mengiris jempolnya. Apel dan pisau itu terlepas dari genggamannya hingga jatuh menghantam lantai. Aquinsha berteriak, mengacungkan ibu jarinya yang mengeluarkan darah.

"Radi! Radi! Radi!" teriaknya panik seraya berlari keluar dari area pantry. "Cepat hubungi 911!! Jariku terluka! Cepat!! Radi!!"

Hampir saja ia menabrak Radi membuat keseimbangannya goyah. Kalau saja Radi tak memegang kedua lengannya, sudah pasti ia akan jatuh. "Eh maksudku nomor darurat ... nomor darurat di sini apa? Eh aku kok lupa?!" Aquinsha masih panik. Saking paniknya menyebut nomor darurat luar negeri.

Radi berhenti memegang lengan Aquinsha dan menunduk menatap ibu jadi wanita itu yang hanya tergores sedikit. "Itu gak parah, Nona."

"Apa kamu bilang?! Gak parah?!" Mata Aquinsha melotot kesal. "Kamu gak lihat jariku berdarah?! Ini berdarah Radi! Ini da-rah!" ujarnya penuh penekanan. Seraya mengacungkan jempol kanannya.

Radi menghela nafas, tetap tenang dan mengajak Aquinsha duduk. "Tunggu di sini."

"Kamu mau ke mana?!" Aquinsha mencengkeram pergelangan tangan Radi menggunakan tangan kirinya.

"Saya mau ambil kotak P3K."

Aquinsha pun melepaskan cengkeramannya. Radi beranjak menuju ke arah pintu. Di sana ada kotak P3K yang digantung sehingga mudah ditemukan. Segera mengambil sesuatu yang dibutuhkan. Kemudian kembali mendekat ke arah Aquinsha yang senantiasa tak menurunkan tangannya. Ia pun mengajak wanita itu untuk mencuci lukanya dulu.

"Nanti perih!" Aquinsha merengek. Tanpa sadar mulai manja. Radi tak bicara sama sekali, tetap mengajaknya ke area pantry. Mengambil air hangat terlebih dahulu kemudian membersihkan luka tersebut. Setelah itu, pria itu mendorong darah keluar.

Aquinsha mengaduh pelan merasakan perih pada lukanya tersebut.

Mereka pun kembali duduk di sofa. Radi meletakkan kain kasa pada luka di jempol Aquinshs kemudian menekannya dengan lembut. Aquinsha kembali mengaduh sakit, tangan kirinya mencengkeram paha Radi, tanpa ia sadari.

Harta, Tahta, CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang