Part 50 - Detik-Detik ...

19.3K 1.9K 256
                                    

Aquinsha menangis tersedu-sedu, beringsut mundur saat ia didekati. Menggeleng pelan agar pria itu tak mendekatinya. Karena Aquinsha sangat takut. Kematian yang ia lihat langsung di depan matanya. Dadanya berdebar tak karuan, bahkan ia seakan mampu mendengar debaran jantungnya.

Sebelum pria itu mencapainya, segera ia berdiri. Hampir saja limbung karena dua kakinya terasa jeli karena bergetar hebat. Namun, ia dicegah untuk melarikan diri. Aquinsha tak bisa menahan diri untuk tidak menampakkan ekspresi ketakutannya. Suaranya hilang, sehingga ia tak bisa mengeluarkan sepatah kata. Hanya mampu menggeleng dengan tatapan iba agar pria itu melepasnya.

Bukannya melepasnya, tangan pria itu yang memegang pistol terarah padanya. Mengarahkan moncong pistol pada dagunya. Mendorong dagunya ke atas hingga ia mendongal. Tatapannya berubah ngeri saat bertemu pandang dengan pria itu.

Bibir Aquinsha gemetar bergerak, berusaha bersuara. Berusaha mengatakan,
'To-long, ja-ngan'.

Tersentak saat badannya dipeluk, Aquinsha meronta, menangis tergugu.

"Saya sangat merindukan kamu, Aquinsha."

Aquinsha semakin merasa ngeri, apalagi saat ceruk lehernya dicium. Mengerahkan tenaganya sekuat mungkin hingga ia dapat terlepas dari pria itu.

Meski kakinya terasa lemas untuk dipakai berlari, Aquinsha tetap memaksakan diri. Berlari ke arah luar.

Hal yang ia temukan sebelum mencapai pintu adalah beberapa pengawal yang tergeletak di lantai dan mulut mereka mengeluarkan busa. Termasuk Lex, pengawal yang ia kenal.

Aquinsha kembali histeris, jatuh terduduk dan seluruh badannya semakin bergetar. Mendongak ke belakang saat merasakan seseorang berdiri di belakangnya.

"Kamu mau kayak mereka atau kayak Nerissa?" Aquinsha menggeleng pelan. "Ya sudah ikut saya!"

Aquinsha semakin menggeleng, tapi ia tak bisa melakukan apa-apa. Karena badannya ditarik paksa untuk berdiri kemudian diseret keluar dari rumah tersebut.

Aquinsha sangat takut.

Ia dibanting masuk ke dalam mobil. Karena tak berhenti menangis, ia diberi tamparan. "Berisik!!! Berhenti menangis!!"

Aquinsha tersedu-sedu. Menutup mulutnya menggunakan telapak tangan. Menempel pada pintu yang terkunci. Pun takut jika ia mencoba memberontak.

"Maaf, maaf, Sayang. Saya gak bermaksud membuat kamu takut." Rambut Aquinsha dirapikan, wajahnya ditangkup agar menatap pria itu. "Maafin saya, ya?" Pipinya yang tadi ditampar dielus dengan lembut. Aquinsha menatap ngeri tangan yang mengelus pipinya.

"Kamu mau kan maafin saya?" desis pria itu dan tersenyum lembut padanya.

Aquinsha mengangguk saja, meski merasa takut dan ngeri. Bisa-bisanya pria di hadapannya ini tersenyum setelah membunuh orang!

Pria itu melajukan mobilnya, melalui gerbang keluar. Karena rumah itu memang memiliki dua gerbang. Entah ke mana pria itu akan membawanya, Aquinsha tak ingin ikut.

Tatapannya gusar, menatap pria di sebelahnya yang kini tanpa ekspresi. Kemudian mengamati ke luar jendela. Tepi jalanan beraspal ditumbuhi rumput.

Satu hal yang kini memenuhi kepalanya.

Ia harus menyelamatkan diri.

Dengan cepat membuka kunci mobil begitupun pintunya kemudian melompat turun.

Beberapa kali badannya berguling. Aquinsha merasakan perih di sekujur lengan kiri, begitupun kaki kanannya karena ia berakhir berguling di aspal. Meski menggunakan pakaian panjang, tapi tetap saja, kulitnya bergesek bertemu dengan kasarnya aspal.

Harta, Tahta, CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang