13.12.2023
____________________________________"Sisi!!"
Jantung Yumna hampir saja copot melihat kelakuan anak gadisnya yang tiba-tiba sudah berada di atas pohon mangga. Gadis belia berusia tiga belas tahun itu sedang asik duduk sembari menikmati mangga hasil kerja kerasnya tadi.
"Berapa kali mama harus bilang sama kamu, jangan naik pohon mangga lagi! Kalau jatuh gimana? Turun!!" Jerit Yumna dari bawah sambil berkacak pinggang.
Dia yang kini sudah berada di usia akhir tiga puluhan sudah sangat berbeda dengan dirinya di masa muda. Jika dulu dia sibuk membuat keonaran, sekarang dia sibuk mengatasi anak gadisnya yang selalu membuat keonaran.
"Sebentar lagi, Ma. Mangga kakak masih sisa setengah."
Yumna menghela napasnya saat Sisi tetap duduk santai di atas pohon. Entah kenapa, dia kini seolah melihat dirinya belasan tahun yang lalu di dalam sifat Sisi namun di wajah yang berbeda. Wajah anak itu adalah duplikat ayahnya versi perempuan. Manjanya juga bukan main jika sudah berhadapan dengan sang ayah. Namun, dibalik kemanjaannya itu dia masih menyimpan rasa takut jika sang ayah sudah mulai menatap tajam padanya.
"Gimana kalau pa-"
Tin
Tin
Tin
Mendengar suara klakson mobil itu, sontak Yumna dan sisi menoleh ke arah asal suara.
"Nah! Itu papa pulang! Cepat turun!!" Pekik Yumna.
Sisi yang masih belum menyelesaikan acara makan mangganya seketika membuang asal buah tersebut dan bergegas turun.
Srett!
Sebelum mencapai tanah, mata sisi melotot karena merasa baju bagian bahunya tersangkut ranting pohon. Di menoleh ke arah ibunya dengan wajah memelas.
"Mama, nyangkut." Rengeknya dengan wajah tegang.
"Ya ampun ini anak!" Kesal Yumna.
Akhirnya, demi sang anak, dia ikut memanjat sedikit ke atas untuk melepas bagian baju yang tersangkut tersebut. Namun, sepertinya mereka terlambat. Karena Rawi baru saja terlihat berdiri dengan wajah herannya.
"Mama sama Sisi lagi apa di atas pohon mangga?" Tanya Rawi dengan wajah yang mulai serius.
Yumna dan Sisi yang berada di atas pohon mangga hanya bisa cengengesan.
"Turun!!" Perintah Rawi.
Dengan segera Yumna melepaskan bagian baju Sisi yang tersangkut. Lalu dia turun dengan cepat meninggalkan Sisi yang terheran-heran melihat ibunya yang begitu mahir memanjat dan turun dari pohon.
"Sini!" Perintah Rawi pada sisi sambil mengangkat tangannya untuk meraih sang anak.
Setelah sampai mendarat dengan baik di atas tanah, Rawi langsung saja menatap tajam anaknya.
"Sisi, papa bilang apa Minggu kemarin, Nak?"
Pertanyaan itu membuat sisi seketika menciut.
"Maaf, papa." Ucap Sisi dengan wajah memelas.
"Kalau diulangi lagi?" Tanya Rawi kembali.
"Potong jatah liburan sebulan." Jawabnya dengan suara kecil seperti kejepit.
"Janji jangan diulangi?"
Sisi menganggukkan kepalanya.
"Ya udah, Sisi masuk ke dalam. Mandi terus turun ke lantai bawah. Papa ada bawa pulang makanan untuk kita."
Ucapan itu membuat senyuman Sisi mengembang. Dia langsung berlari masuk ke dalam rumah dengan riang.
"Sekarang, pertanyaan untuk mama. Kenapa bisa ada di atas pohon sama Sisi, hm?"
Wajah Yumna sontak memerah. Dia merasa amat malu karena Rawi melihatnya memanjat pohon mangga setelah hampir dua puluh tahun berlalu.
"Papa jadi nostalgia zaman dulu. Mama pernah manjat pohon mangga juga kan di sekolah. Tapi, bedanya nggak langsung turun dari pohon. Malah nawarin mangga ke papa." Goda Rawi sambil tertawa geli.
Yumna semakin malu dibuat oleh Rawi.
"Oh ya? Nggak ingat tuh." Elaknya lalu melimpir masuk ke dalam rumah meninggalkan Rawi yang tertawa sendiri.
Rawi melihat istrinya itu masuk ke dalam rumah. Rasanya waktu cepat berlalu. Gadis muda yang penuh dengan drama di masa sekolahnya dulu kini sudah menjadi ibu dua anak. Tidak ada perubahan signifikan jika dilihat dari fisik, namun sifatnya tentu sudah berbeda. Kini, Yumna nya tidak bar-bar lagi. Yumna sudah menjadi sosok ibu yang baik untuk kedua anaknya.
"Oh iya, Zayyan kemana ya?" Gumamnya saat menyadari anak bungsunya tidak ada.
***
Di sore hari yang amat cerah, Yumna, Rawi beserta kedua anak mereka duduk di halaman belakang yang terdapat gazebo kecil tempat mereka biasa bersantai.
Saat ini, mereka berempat sedang menikmati makanan yang dibawa pulang oleh Rawi. Ada berbagai jenis makanan ringan yang dibawanya pulang. Mulai dari kesukaan Yumna, kesukaan Sisi, kesukaan Zayyan dan juga kesukaannya. Mereka menikmati makanan tersebut sambil bercengkrama bersama.
"Papa, kata Om Angga, dulu Papa idola sekolah ya? Katanya Om Angga, banyak anak cewek yang ngejar sampai papa kesal. Bener, Pa?"
Yumna yang sedang memakan pizza sampai terbatuk mendengar pertanyaan Sisi. Dia tentu tau jawabannya.
"Nggak juga tuh. Cuma ada satu perempuan yang ngejar papa sampai papa akhirnya luluh."
"Oh iya, siapa, pa?" Tanya Sisi dengan antusias.
Rawi tersenyum. Dia menoleh ke arah Yumna yang tampak salah tingkah.
"Mama, ya?" Sambut Zayyan ketika melihat ayahnya menatap sang ibu dengan senyum tertahan.
Rawi tidak kuasa menahan tawanya. Hingga Sisi melongo.
"Beneran, Ma?" Tanya Sisi dengan histeris.
"Benar, Kak." Sahut Zayyan lagi ketika melihat wajah ibunya yang memerah.
"Ih, Zay masih kecil. Nggak boleh sok tau." Seru Sisi.
"Zay udah delapan tahun. Zay udah gede. Kak Sisi tuh yang masih kecil. Masih nggak nurut dibilangin mama sama papa." Jawab Zayyan.
Anak laki-laki berusia delapan tahun itu mengambil penuh sifat Rawi. Sedangkan dari wajah, dia itu Yumna versi laki-laki.
"Papa!!" Rengek Sisi yanh langsung menempel pada papanya.
"Tuh kan!!" Seru Zayyan dengan puas.
Sisi semakin dibuat kesal oleh adiknya. Hingga mereka berakhir beradu mulut dengan Sisi yang menempel pada ayahnya. Sementara Rawi dan Yumna hanya menikmati perdebatan itu. Karena nyatanya, suasana ribut ini yang sangat mereka sukai. Perdebatan lucu antara si sulung dan si bungsu terlihat seperti mereka dulu. Rawi yang santai dan Yumna yang menggebu.
"Papa!!" Rengek Sisi lagi yang membuat Rawi, Yumna dan Zayyan tertawa.
_______________________________________
Selesai sudah kisah Yumna dan Rawi
Sampai jumpa di ceritaku yang lainnya
🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Perkara Cinta Yumna
General Fiction"Aku tau kamu bohong. Tapi aku tetap tersenyum untuk semua yang kamu lakukan. Aku tetap merasa bahagia karena bisa bersama dengan kamu. Karena aku sungguh-sungguh mencintai kamu, Rawi." Rawi termenung di depan ruang tunggu pasien. Kepalanya tidak la...