HAPPY READING
...
Lomba renang yang diselenggarakan Pekan Olahraga Nasional disiarkan secara live di chanel Nasional Indonesia. Tentu saja saat ini Kepala Sekolah sedang menikmati itu dari ruangannya ditemani Pak Willy selaku guru favorit abad ini dan segelas teh hangat. Bukan hal yang mengejutkan kalau Prity melaju ke final bersama lima peserta dari sekolah lain se-Indonesia hingga Kepala Sekolah yakin kalau Prity pasti bisa mengalahkan mereka. Lagian siapa sih empat peserta lomba renang itu? Dibanding mereka, nama Prity sudah tersebar di mana-mana sebagai salah satu perenang wanita yang hebat.
"Pak Will, tolong sampaikan pada seluruh redaksi untuk lebih banyak menyiarkan berita Prity. Kepala saya masih saja sakit mengingat berita itu ...,"
Pak Willy mengerjap, "Baik, bu."
"Bagaimana dengan Adly? Dia sekolah hari ini?"
"Tidak, bu."
Kepala Sekolah mengembuskan napas panjang.
Hari ini berita kasus KDRT serta perceraian orang tua Adly diangkat kembali oleh media-media besar tanah air. Berita yang membuat Kepala Sekolah harus memutar cara untuk menutup berita-berita itu dengan berita lomba Prity. Tentu saja berita mengenai keluarga Nirlangga itu akan kembali diangkat. Ya soalnya hampir seluruh media dibayar oleh keluarga Sevenor untuk semakin menjatuhkan Reno Nirlangga.
Sebenarnya Kepala Sekolah tak masalah dengan kasus itu. Hanya saja, nama SMA Bintang Favorit lagi-lagi jadi sorotan lantaran profil Adly terus diterbitkan di seluruh situs berita, terlebih di situs gosip dan itu membuat Kepala Sekolah jengkel setengah mati.
Dibandingkan nama baik sekolah, sebenarnya Pak Willy lebih khawatir dengan kondisi Adly. Lelaki itu tak sekolah hari ini, juga tak ada kabarnya. Pak Willy sudah menelepon kediamannya, tapi tak satupun yang mengangkat panggilan. Bahkan ponsel Adly juga tak kunjung aktif. Berharap lelaki itu baik-baik saja karena Pak Will yakin, tak satupun anak yang mengharapkan situasi seperti ini.
Pak Willy melintasi ruang bimbel dan tak sengaja mengintip Airin yang sedang tercenung di sana sendirian. Ah, mengenai gadis itu, dia juga sibuk akhir-akhir ini lantaran sedikit lagi akan berangkat dalam olimpiade fisika bersama Adly. Tanpa menunggu lama, Pak Willy pun memutuskan mengentuk pintu ruangan bimbel membuat Airin menoleh dan tersenyum. Pak Willy menghampirinya.
"Udah selesai belajarnya?" tanya Pak Willy.
"Dikasih istirahat lima belas menit, pak. Hehe." Airin nyengir.
"Lumayan tuh," komentar Pak Willy. "Tapi, kenapa waktunya dipake ngelamun aja?"
Mendengar itu, Airin menetralkan wajahnya kembali dan menelan saliva. Pandangannya dialihkan ke tempat lain, seakan mengisyaratkan sesuatu.
"Kamu nggak apa-apa?"
"Hnngg ... nggak apa-apa kok, pak."
Pak Willy terdiam beberapa saat menatap Airin, lalu terkekeh. "Ah, udah pasti itu jawabannya. Setiap orang yang bapak tanyain kayak gitu pasti jawabannya sama. Kayaknya bapak harus ganti pertanyaan lain kali."
"Wah kalau dilihat-lihat bapak udah mulai peka sama perasaan wanita yah, pak. Pantesan Bu Rahma yang jadi calon istri bapak."
"Ah, kamu ini. Ada-ada aja." Pak Willy jadi tersipu malu.
Sebenarnya Airin sudah sering meledek Pak Willy seperti itu—yang kalau dipikir lagi mungkin karena curahan hati Pak Willy saat galau melamar mantan kekasihnya—a.k.a Bu Rahma—pada Airin akhir tahun kemarin. Waktu itu Pak Willy tak menyebut nama Bu Rahma sih, jadinya saat berita lamaran beredar barulah Airin sadar siapa mantan kekasih yang dimaksud Pak Willy itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Team II: Reach The Stars
Teen FictionSetelah masuk dalam program PIN, Airin baru sadar ia mempertaruhkan banyak waktunya untuk lebih giat belajar. PIN perak adalah motivasinya sekarang. Masalahnya ini bukan hanya tentang PIN perak lagi, tapi tentang menemukan bakatnya di tengah-tengah...