TEAM: 54: GOODBYE

311 49 21
                                    

HAPPY READING

...

Kalau kehidupan kedua itu beneran ada, nggak---gue nggak mau terlahir lagi. 

Sunny membuka mata, mendapati dirinya duduk berselonjor di rooftop. Hari sudah malam, sementara perutnya terasa kosong. Hal terakhir yang ada diingatannya adalah wajah Zero yang tersenyum---setelah lelaki itu mengaku kalau dia adalah mata-mata. 

Ah, barangkali istilah itu hanya digunakan untuk menakut-nakuti saja. Setahu Sunny, kehidupannya tak begitu menarik. Dia tak punya musuh pribadi yang berarti; setidaknya setelah keluar dari SMA Bintang Favorit, Sunny sudah menyelesaikan masalah pribadinya dengan para anggota PIN perak. Mereka bukanlah musuhnya. Lalu, bagaimana bisa dia menjadi target mata-mata? 

Terdengar beberapa orang bicara di dekatnya, membicarakan pembukaan pulau, pukul berapa mereka sampai dan haruskah mereka berangkat sekarang? Sementara tubuhnya tak kuat menahan dingin, hanya bisa memeluk perut karena kelaparan dan angin menembus lapisan cardigan tipisnya, menusuk kulit. 

"Udah bangun, ya?" 

Tiba-tiba saja wajah Zero muncul di hadapan Sunny membuatnya mengerjap sayu dengan wajah pucat pasi.

"Makan," ucap Zero sambil menyodorkan roti. Sunny tak kunjung mengambilnya, hanya menatap lemah. "Belum saatnya lo mati."

"Kenapa?" Sunny melirih dengan suara serak, tak yakin Zero bisa mendengarnya karena dia sudah tak bertenaga lagi. "Kenapa lo lakuin ini?"

Zero berdehem dengan tampang berpikir. "Lo nggak tahu apa-apa?"

Sunny tak menjawab. Tak juga mengerti apa yang dimaksud lelaki itu.

Arian selalu bilang, dia sukarela melindungi Sunny dari bahaya---menekankan kata itu berulang kali tanpa Sunny sadar, seberapa besar bahaya yang datang mengintainya, walau itu bukan salahnya. Mungkin ini balasan dari semua perbuatan buruk orang tuanya di masa lalu sampai sekarang, mungkin ini risiko memiliki hubungan darah dengan kriminal. 

Sunny tak pernah mau peduli tentang apa pekerjaan Nathanael dulu. Dia disebut kriminal karena melakukan perdagangan ilegal, menipu demi kepentingan pribadi, membunuh siapa pun yang mengancam atau---menyingkirkan orang-orang sesuka hatinya. Sunny tak masalah dengan itu sampai dia sadar hal-hal itu yang membuat hidupnya tak aman sekarang.

Zero menghisap vaporiser dan mengeluarkan asapnya. Sekarang lelaki itu tidak kelihatan seperti lelaki polos dan kalem seperti yang Sunny lihat di awal perkenalan. Inilah muka aslinya sekarang.

"Masih ingat violinist yang gue ceritain kemarin?" Zero balik bertanya, "Dia cinta pertama gue. Dia satu-satunya cewek yang bikin gue jatuh cinta sama alat musik dan gue---berlatih keras demi dia. Shit, dia nggak suka gue ngerokok."

Sunny tak berekspresi saat Zero meremas vapornya seakan menyesali tingkahnya sekarang. Lelaki itu kelihatan frustrasi. 

"Bokap lo yang bunuh dia," sambungnya. 

Sunny masih diam. 

Zero pun melanjutkan, "Bartender yang lo temuin di Chill Bar itu, lo ingat juga? Cewek yang gue ceritain sekarang, itu adiknya."

"Huh?" Sunny cukup terkejut mendengarnya, sedetik kemudian dia mengeluarkan batuk kering. Dadanya kembali terasa nyeri. Sunny menekan celananya karena merasa sesaat lagi akan kambuh. 

Sekarang semua masuk akal tentang kenapa Zero meminum nojito itu dan berpura-pura melindunginya dari Krista. Lelaki itu secara tak langsung memberi tanda kalau mereka memiliki keterikatan. 

Semua itu bukan kebetulan. Zero yang merencanakannya. Dia mengikuti Sunny sejak dari Jakarta dan mengikuti kepindahannya. Lebih tepatnya, setelah Nael mencelakai Alexandra---adik kandung Krista. Nael melakukannya sebagai bentuk pembalasan atas apa yang Krista lakukan selama ini di rumahnya; salah satunya menjadi mata-mata Sevenor. 

Team II: Reach The StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang